Berwisata di Persia (Bagian 2 – Isfahan)
Setelah menghabiskan empat hari di Tehran, kami berkunjung ke ibukota lama kerajaan Persia, Isfahan. Suasana di Isfahan sedikit berbeda dari Tehran. Secara tata kota, Isfahan lebih rindang karena banyak pohon. Bahkan ada salah satu jalan di Isfahan yang memiliki 4 lajur pohon. Suhu di Isfahan sedikit lebih dingin daripada di Tehran.
Masih ingat Golestan Palace yang dibangun oleh Dinasi Safavid di artikel sebelumnya? Pada masa itu, ibukota Persia ada di Isfahan. Bila Tehran diperkaya dengan corak budaya Eropa, maka Isfahan lebih kental dengan corak Islam yang dominan dengan bentuk-bentuk simetris, lingkaran yang melambangkan kesempurnaan. Saya langsung jatuh hati dari hari pertama kita tiba di Isfahan.
Karena Mohammad harus kembali bekerja di Tehran, maka perjalanan ini kami lanjutkan tanpa Mohammad. Tapi tidak perlu khawatir karena kami disambut oleh seorang pemandu wisata, Jafar. Setiap hari Jafar akan menemani kami selama 3 jam saja dan memperkaya pengetahuan kami selebihnya saya eksplorasi sendiri kota cantik ini. Dimulai dari Menara Jonban (Jonban Minaret) atau dikenal juga dengan Menara berayun. Menara ini dibangun di kompleks makam Amu Abdollah Soqla, seorang agamawan. Yang membuat bangunan ini unik adalah, bila salah satu menaranya digoyang, maka menara satunya akan ikut bergoyang; meskipun secara struktural kedua menara ini terpisah cukup jauh.
Selanjutnya kami menuju daerah Jolfa, yaitu daerah yang banyak dihuni oleh orang Armenia. Di daerah ini terdapat sebuah katedral besar bernama Vank (Vank sebenarnya berarti katedral dalam bahasa Armenia). Pada zaman Shah Abbas I berkuasa di Iran, kerajaan Ottoman di Turki sedang gencar-gencarnya melebarkan kekuasaan, termasuk menguasai Armenia. Banyak orang Armenia yang melarikan diri ke Iran untuk mengungsi sehingga kemudian diberikan sebuah wilayah di daerah New Jolfa oleh Shah Abbas I dari dinasti Safavid di abad ke 17. Nama New Jolfa tersebut diambil dari nama kota Jolfa asal para imigran Armenia tersebut yang kini adalah bagian dari negara Azerbaijan.
Katedral Vank, memiliki dinding luar yang tinggi dari bata berwarna coklat muda, laiknya sebuah benteng. Sebelum memasuki kompleks katedral, di seberang terdapat kolam air mancur dan sebuah patung. Patung itu adalah patung pendeta Kachatur yang berjasa membuat mesin cetak pertama yang digunakan orang Armenia untuk mencetak Injil. Katedralnya sendiri berdiri megah di tengah-tengah kompleks dan uniknya memiliki kubah seperti masjid dengan ujung kubah yang diberi salib. Desain ini disengaja untuk menunjukkan identitas Islam dari kerajaan Persia tapi bersatu dengan salib yang merupakan simbol agama pengungsi Armenia.
Bagian dalam Katedral Vank tidak terlalu luas tetapi terlihat megah sekali dengan langit-langit yang tinggi. Dinding katedral Vank penuh dengan lukisan mural cerita- cerita yang terdapat di dalam kitab Injil sampai ke langit-langitnya dan di bagian bawah dinding diberi hiasan keramik khas dinasti Safavid. Agaknya setiap tahun lukisan di dinding tersebut dibersihkan dan dirawat karena lukisan dinding terlihat tetap mengkilap dan tidak pudar warnanya. Setelah mengabadikan isi katedral Vank, saya melihat-lihat koleksi museum Katedral Vank, yang juga berada di dalam kompleks. Isi museum adalah ratusan artifak peninggalan orang Armenia yang tinggal di Jolfa di jaman Safavid.
Kota Isfahan juga mengingatkan saya pada kota Istanbul, Turki di mana pusat-pusat tempat wisata dulunya adalah instrument penting sebuah kota. Masjid, gedung pemerintah, pasar dan istana semua berdekatan dan bisa dijangkau dengan berjalan kaki. Di Isfahan ada jembatan yang sangat terkenal bernama Siosepol, jembatan terpanjang di sungai Zayandeh yang memiliki 33 lengkungan. Jembatan ini sangat tua, dan konon menjadi tempat berkumpulnya para pujangga, penulis cerita untuk bercengkerama dan juga mencari inspirasi. Kini jembatan Siosepol menjadi tempat berkumpulnya sahabat dan keluarga. Tempat berpiknik menikmati matahari tenggelam diingiri deru aliran sungai di bawahnya. Ada kejadian unik saat saya sedang berjalan di jembatan, tiba-tiba ada seorang bapak muda yang sedang menggendong anak balita nya menghampiri dan menyerahkan anaknya pada saya untuk digendong dan difoto bersama. Dengan Bahasa Ingris yang terbatas ia bertukar kata dan bercanda. Keramahan yang tidak akan saya lupakan.
Istana Chehel Sotoun juga terletak tak jauh dari hotel tempat kami menginap, hotel Abbasi. Chehel Sotoun artinya 40 pilar, merupakan sebuah istana kecil dengan sebuah kolam besar di depannya, yang dibangun Sultan Shah Abbas II sebagai tempat resepsi dan penerimaan tamu. Dirancang akan dibangun dengan 40 pilar tetapi akhirnya karena keterbatasan waktu dan biaya hanya dibangun 20 pilar. Namun arsitek istana ini tidak kurang akal. Ia bangun sebuah kolam besar di depan istana, sehingga dari jauh tampak 20 pilar lagi dari refleksi pada kolam. Total pilar kembali menjadi 40 sesuai keinginan semula. Di dinding ruang utama, terdapat banyak lukisan mural, yang menceritakan peperangan dan jamuan tamu pada masa dinasti Safavid. Salah satu yang menarik adalah perang Chaldiran, pasukan dinasti Safavid melawan pasukan Ottoman dari Turki. Perang Chaldiran dilukiskan di situ dimenangi pasukan Ottoman, yang pasukannya dilengkapi dengan senjata api sedangkan pasukan dari kerajaan Persia masih menggunakan pedang.
Berlian yang bersinar di kota Isfahan adalah Nashq’e Jahan Square. Selain karena taman megah ini indah dan berada dipusat kota Isfahan tetapi juga karena merupakan tempat wisata yang lengkap. Taman besar ini dikelilingi oleh 2 masjid besar yaitu Mesjid Shah, dan Masjid Sheik Lutfollah, 1 istana yaitu Istana Ali Qapu, dan 1 pasar yaitu Grand Bazar. Taman besar ini pada zaman dinasti Safavid digunakan untuk pertandingan olahraga polo. Sekarang merupakan salah satu UNESCO World Heritage. Masjid Shah merupakan masjid yang diperuntukkan untuk umum. Masjid ini memiliki kubah yang bertumpuk, pada saat perang Iran-Irak, kubahnya pernah terkena misil Irak dan restorasinya dilakukan dengan cara membangun kubah baru langsung di atas. Efeknya, bila kita berdiri di dalam masjid tepat di bawah kubah, gema suara kita terdengar berkali-kali. Sedangkan Masjid Sheikh Lutfollah diperuntukkan untuk kerabat kerajaan, lebih kecil dan namanya diambil dari nama seorang Imam. Kedua masjid juga dipercantik dengan lengkungan menyerupai rumah lebah berwarna biru khas Iran pada pintu utama nya, tetapi kedua masjid tersebut pada saat ini tidak digunakan lagi sebagai masjid dan sebagian besar sedang dipugar.
Istana Ali Qapu, yang berarti persembahan untuk Ali, salah satu sahabat Nabi Muhammad, Ali bin Abi Thalib. Desain istana Ali yang digunakan sebagai administrasi kerajaan ini unik, dari depan terlihat hanya terdiri dari 4 tingkat, dilihat dari belakang 5 tingkat tetapi aslinya memiliki 7 tingkat. Di lantai ke 6 terdapat Music Hall yang memiliki langit-langit yang indah dan dirancang untuk mendukung secara akustik, musik yang dilantunkan di dalam Music Hall. Konon dulu para tamu kerajaan yang berkunjung selalu terpana karena seolah-olah alunan musik ke luar dari dinding-dinding padahal masa itu belum ada loud speaker surround sound. Desain akustik yang kompleks pada music hall ini memungkinkan para artis untuk bermain musik di ruangan kecil seperti studio, tapi suara alunannya mengalun ke seluruh music hall.
Kunjungan terakhir adalah Isfahan Grand Bazar, di sini banyak pedagang souvenir khas Iran, dan menurut saya adalah yang paling menyenangkan dan lengkap. Mulai dari perhiasan cincin batu, pajangan dari kayu atau logam, lukisan miniatur khas Iran yang dilukis di atas tulang unta, fridge magnet dari keramik, taplak meja cap, permen nougat Isfahan sampai karpet Iran. Puas!
Setelah lelah berjalan di bazaar, saya antar anak-anak naik kereta kuda mengitari taman ini satu putaran. Luasnya taman ini juga seru untuk dijadikan laga balap lari untuk anak-anak; atau sekedar membaca buku di bangku taman, menikmati angin sepoi-sepoi. Sesekali ada warga Isfahan yang menyapa menghampiri dan bertanya darimana kami berasal, lalu mengajak mengobrol sebentar. Begitu ramah mereka dan begitu ingin agar kita nyaman di sana. Di sini kami juga berkenalan dengan pelukis miniatur. Ia melukis di atas tulang onta. Lukisannya beragam, dari hal yang sederhana seperti bunga, wajah hingga potret peradaban Isfahan di abad-abad lampau. Semakin kompleks detailnya, semakin mahal pula harganya. Untuk menyelesaikan lukisan berukuran 10 cm x 3 cm, ia butuh waktu 3 hari.
Oya, kami tinggal di Hotel Abbasi, hotel tertua di Isfahan dan banyak dipajang lukisan dan ornamen-ornamen dari masa kejayaan Raja Abbasi. Hotel ini “setengah museum”, sungguh menyenangkan di mata. Di bagian tengah hotel ada taman besar tempat para tamu berkumpul dan bisa menikmati berbagai makanan dan minuman. So lovely.
Tinggal tiga hari di kota ini sungguh menyenangkan, kami cukup sedih meninggalkan kota cantik ini – tapi juga semangat untuk menuju kota berikutnya, Shiraz.
Baca juga:
Bagian 1 – Tehran
Bagian 3 – Shiraz