Analogi: Membantu atau Menyesatkan?

Pada akhir tahun 2015, Arnold Schwarzenegger menulis sebuah Facebook post tentang perubahan iklim dan pentingnya seluruh komponen masyarakat, khususnya pembuat kebijakan, pelaku bisnis untuk melakukan sesuatu untuk melindungi lingkungan yang semakin rusak dengan adanya perubahan iklim ini. Seperti kita ketahui bersama, perubahan iklim masih ada yang meragukan kebenerannya; dan bahkan dari semua yang mengakui kebenarannya pun berbeda-beda dalam adopsi kebijakan ataupun urgensi praktiknya. Ada yang setuju pengembangan mobil listrik, ada yang tidak. Ada yang ingin energi terbarukan segera disubsidi pemerintah, ada yang masih nanti dulu. Ada yang subsidinya kecil ada yang besar. Intinya pada tataran prinsip, bisa saja orang bersepakat tapi pada tataran praktis akan muncul perbedaan yang dipengaruhi berbagai faktor.

Kembali ke tulisan Arnold tadi, dia mengakhiri tulisannya dengan sebuah analogi, yang kemudian dikenal dengan “The Terminator Analogy”:

Ada dua buah pintu. Di belakang Pintu Nomor Satu adalah sebuah ruangan yang tertutup rapat, yang di dalamnya terdapat sebuah mobil biasa, yang berbahan bakar bensin. Di belakang Pintu Nomor Dua, juga sebuah ruangan yang tertutup rapat, yang di dalamnya terdapat sebuah mobil listrik. Kedua mobil tersebut mesinnya dalam kondisi menyala.

Saya minta Anda memilih salah satu pintu, masuk ke dalam ruangan tersebut dan menutup pintunya. Anda harus bertahan dalam ruangan tersebut selama satu jam. Anda tidak boleh mematikan mesin. Anda tidak memiliki alat bantu pernapasan (gas mask).

Saya menebak Anda akan pilih Pintu Nomor Dua, dengan mobil listrik kan? Pintu Nomor Satu adalah pilihan yang mematikan – siapa yang mau menghirup asap itu? 
Inilah pilihan yang harus dibuat oleh masyarakat dunia.

 

Tulisan ini banyak dibagikan, termasuk juga di-like oleh Mark Zuckerberg. Dari semua pembaca Facebook yang terpapar tulisan di atas, pasti ada yang akan langsung terpengaruhi dan tidak sedikit yang akan langsung berpihak kepada kesimpulan analogi ini. Bahwa mobil listrik adalah pilihan yang lebih baik. Bahwa polusi udara (inti dari analogi di atas) adalah penyebab utama perubahan iklim. Inilah kekuatan analogi. Analogi menggiring pembaca untuk “seolah-olah” mengambil kesimpulannya sendiri karena cerita yang diberikan mudah sekali dipahami.

Tidak banyak yang kemudian membaca lebih lanjut atau mencari tahu apa benar ada korelasi atau kausalitas antara polusi udara dengan perubahan iklim. Berapa persen dari polusi udara disebabkan karena asap mobil? Bagaimana dengan asap pabrik, atau asap dalam rumah (indoor air pollution) yang meluap ke luar rumah dan ikut berkontribusi terhadap polusi secara keseluruhan. Asap dalam rumah, yang dimaksud adalah dari pembakaran arang, minyak tanah, kayu bakar untuk memasak, penghangatan ruangan atau yang lain. Jumlah kematian dari asap dalam rumah ini sebanyak 4 juta jiwa per tahun. Ini berarti 10.958 orang meninggal per hari disebabkan penyakit pernapasan. Angka yang tidak sedikit.

Oleh karena itu Bjorn Lomborg, penulis dan aktivis lingkungan dari Denmark mengkritik bahwa analogi yang diberikan (mobil), sangat tidak membumi. Orang-orang yang masih belum menggunakan kompor gas/ listrik adalah orang-orang yang tergolong miskin. Sehingga permasalahan perubahan iklim ini tidak semudah bilang “alokasi subsidi yang lebih besar untuk energi terbarukan”. Akar permasalahannya masih seputar kemiskinan, pendidikan dan bagaimana meningkatkan taraf hidup masyarakat secara umum. Tentu perubahan iklim ini sangat penting, dan eksploitasi sumberdaya terbarukan harus dilakukan secepat mungkin – namun bukan berarti tahapannya harus radikal. Dan bila pemerintah suatu negara mengambil kebijakan yang lebih cocok untuk negaranya, dan tidak sesuai dengan Amerika, tentu tidak bisa langsung divonis dengan kacamata hitam/putih seperti analogi di atas.

 

Analogi Divestasi Freeport

Selama beberapa hari terakhir portal berita dalam dan luar negeri memuat kabar penandatanganan Head of Agreement (HoA) untuk rencana divestasi Freeport Indonesia. Tidak lama setelah itu bermunculan meme, cerita analogi dari kedua kubu pro dan kontra. Secara prinsip, tentu semua setuju bahwa penambangan Freeport harus dimanfaatkan sebesar mungkin untuk kemakmuran bangsa; hanya saja tahapan dan kebijakan menuju ke sana yang mungkin setiap orang punya pendapat masing-masing. HoA ini mau diremehkan bisa, mau dimaknai positif juga bisa. Positifnya, ini adalah untuk menyepakati antar kedua pihak pokok-pokok perjanjian yang nantinya akan dirinci dalam kontrak. Namun kalau mau dimaknai negatif juga bisa, HoA tetap saja bukan kontrak, belum mengikat dan tidak ada gunanya.

Punya pendapat sah-sah saja, kata orang “opinion is the cheapest commodity”, opini adalah komoditas yang paling murah. Berapa kali dalam sehari kita dipaksa membaca opini-opini orang yang tidak kompeten dan tidak kita kenal, padahal kita tidak minta apalagi beli.

Untuk topik serumit divestasi Freeport, analogi yang banyak beredar menurut saya bertujuan untuk penggiringan opini dan bukan untuk pemahaman. Mirip seperti analoginya Arnold di atas. Dibuat sesederhana mungkin, dengan bahasa sesuai audiens nya (yang mungkin sebagian besar punya mobil), dan dibuat seprovokatif mungkin.

Lihat analogi dibawah ini tentang Freeport, yang saya baca di timeline dan sudah banyak sekali dibagikan.

Bagaimana mungkin konsesi penambangan logam mulia yang sudah berjalan berpuluh tahun, diatur dengan Undang-undang dan ditambah berbagai peraturan berlapis yang khusus dibuat untuk kontrak ini, dianalogikan dengan sewa tanah antar individu; yang kadang hanya dilakukan dengan verbal. Bagaimana bisa “aktivitas” individu (bisnis rumah makan, kebun atau yang lain), dianalogikan dengan pengerukan dan penambangan menggunakan teknologi tinggi yang membutuhkan riset, investasi dari berbagai negara; yang semuanya sudah dihitung profitabilitasnya dan disepakati dalam masing-masing kontrak. Bagaimana bisa “meminta kembali” tanah dan bangunan di atasnya, sementara “bangunan di atasnya” adalah sebuah monster raksasa yang dioperasikan berbagai peralatan, yang didukung ribuan SDM Indonesia yang harus dipecat, dimutasi, diberikan kompensasi dan seterusnya.

Belum lagi Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI)/ intellectual property, apa betul semudah itu mau mencaplok kembali semua gedung, alat aset dan juga semua pengetahuan selama berpuluh tahun? Kalau memang semudah itu, sebaiknya si penulis analogi ini kita jadikan negosiator utama untuk divestasi Freeport.

Sekali lagi, semua pihak sudah pasti setuju divestasi harus dilakukan. Tapi cara, tahapan menuju ke sana, memang setiap orang mungkin punya pendapat yang berbeda. Perbedaan ini yang seharusnya dibedah dan dijelaskan, bisa dengan data atau dengan mengambil pelajaran negara lain, atau metode lainnya. Okelah, kalau mau pakai analogi supaya mudah dipahami – tapi analoginya yang benar. Kalau terlalu kompleks, mungkin analogi bukan alat yang tepat untuk menjelaskan.

Bagi orang yang berpendidikan, analogi seharusnya menjadi pemantik keingintahuan. Ia hanyalah teaser/ trailer sebuah film (ini contoh analogi jinak/ benign analogy). Ia membuat orang tertarik untuk menonton filmnya. Ia bukan berisikan kesimpulan, apalagi spoiler atau inti cerita. Dalam konteks belajar, ia bukan titik mutakhir pembelajaran apalagi kesimpulan yang lalu dianggap benar.

Namun demikian, meskipun permasalahan Freeport ini kompleks – analogi ini berhasil dibagikan puluhan ribu kali dan dibaca jutaan mata. Ini menunjukkan betapa efektifnya komunikasi penggiringan opini dengan menggunakan analogi.

 

Bersabar dalam Memahami

Di era media sosial dan gawai/ gadget elektronik sekarang ini, semakin banyak dari kita tidak sabar dalam memahami sesuatu. Jaman sekolah dulu, kita dipaksa membaca whitepaper, atau artikel jurnal ilmiah yang panjangnya antara 5000-7000 kata bahkan kadang lebih. Dengan munculnya portal-portal berita, kita terbiasa membaca artikel yang panjangnya 1000-2000 kata. Selebihnya, malas. Lebih parahnya kadang sebagian dari kita hanya mendapatkan berita/pengetahuan, dengan mengandalkan apa yang di-“share” di sosial media. Kadang hanya 100-200 karakter (bayangkan! berapa banyak ilmu yang bisa kita serap hanya dengan mengandalkan ini) atau bahkan hanya dari sebuah meme (apalagi ini!) yang memuat 15 gambar, 2 kalimat; dan selesai. Hanya dengan itu, puas sudah dahaga kita tentang reklamasi, kapitalisme global, perang-perang di dunia, dan seterusnya. Kenapa rendah sekali standarnya?

Kita harus ingat bahwa pemicu utama revolusi kognitif (revolusi kesadaran) yang membuat peradaban manusia begitu maju adalah kesadaran kita bahwa kita tidak tahu (ignoramus – kami tidak tahu). Kesadaran inilah yang membuat terjadinya pelayaran/ ekspedisi antar benua, inovasi-inovasi sejak dulu jaman peradaban Sumeria, Kekaisaran Romawi, Kesultanan Ottoman, The Third Reich hingga peradaban modern jaman sekarang. Menyadari bahwa kita tidak tahu, lalu berupaya untuk eksplorasi dan eksploitasi.

Setiap kali kita membaca sesuatu, lalu muncul cerita analogi – hendaknya kita tetap kritis dan menjaga jarak dengan penggiringan opini melalui analogi. Menurut Donald Simanek dari University of Pennsylvania, orang yang sudah terpapar analogi dan berhasil menarik kesimpulan darinya – logikanya akan sulit untuk dikembalikan seperti semula. Ia harus melalui “unlearning process” dulu untuk mengabaikan kesimpulan tersebut sebelum meneruskan perjalanan pembelajarannya.

Mari kita posisikan analogi pada tempatnya, sebagai pemantik rasa keingintahuan.

Leave a Reply

CommentLuv badge