Tentang Kenangan Masa Kecil

Tulisan ini terinspirasi oleh kedua orangtua saya, Bapak dan Mama.

Saya bersyukur masih ada Eyang yang cukup sehat meskipun sudah berusia lanjut. Eyang adalah orangtua dari para orangtua kami. Beliau adalah pemersatu dan magnet yang menarik seluruh anggota keluarga untuk datang dari berbagai penjuru, khusunya saat Idul Fitri kemarin. Meskipun Eyang sudah tidak banyak bercerita, namun Bapak, Mama, Om, Tante, Pakdhe, Budhe semua tidak kekurangan cerita untuk mengenang masa kecil mereka masing-masing. Mulai dari latihan pingpong, berbagi satu telur dadar untuk delapan bersaudara, sampai mencuri manga tetangga dan dipaksa minta maaf ke pemiliknya.

Tentu tidak mungkin bagi kita untuk mengingat setiap kejadian di masa kecil, tapi selalu ada beberapa kejadian tertentu yang diingat sampai tua. Apa yang membuat kejadian tersebut membekas? Sebagian besar menjawab karena mereka masih ingat apa yang dirasakan pada saat itu. Membekas hingga saat ini. Bapak saya tahun ini berusia 60 tahun dan masih ingat betul tentang peristiwa berbagi telur dadar tadi. Mama saya berusia 59 tahun dan masih ingat sedihnya saat tidak diperkenankan untuk mencoba seleksi masuk jurusan kedokteran, seperti kakaknya.

Dalam perjalanan kembali ke Jakarta saya jadi merenung. Apa ya kenangan yang saya ingat di masa kecil saya. Bukan saat saya SMA atau SMP… tapi di usia-usia TK atau awal masuk SD (earliest childhood memory).

Ada peristiwa yang saya ingat suatu hari di Bandung saat saya mungkin masih berusia 5 tahun. Waktu itu Bapak dan Mama hidup terpisah karena tuntutan tugas dan studi. Saya tinggal di Bandung bersama adik dan Mama. Bapak pulang ke Bandung mungkin hanya 1 kali dalam setahun. Saya ingat suatu sore saya diajak ke dokter gigi langganan kami untuk mencabut gigi. Awalnya saya tidak mau, karena toh biasanya cabut gigi dilakukan di rumah dengan seutas benang dan sepotong gula jawa :D (ada yang memakai teknik yang sama?). Tapi entahlah mungkin waktu itu giginya agak susah dijangkau atau bagaimana akhirnya saya diajak ke dokter gigi. Imbalannya saya masih ingat betul, boleh beli es krim setelah cabut gigi.

Tidak ada yang saya ingat tentang pembicaraan sepanjang perjalanan di angkot; tidak juga saya ingat sakitnya dicabut gigi atau yang lain. Yang saya ingat hanya perjalanan dari dokter gigi ke tukang es. Saya ingat digandeng Mama menyusuri jalan dan menuju ke tukang es. Saya ingat merasa lega karena sudah selesai urusan dengan pak dokter, saya ingat diminta mama untuk jalan di sebelah kirinya (kata mama, supaya kalau keserempet, mama yang kena), saya juga ingat persis membeli es krim pakai cone, makan di situ dan boleh nambah satu lagi. Senang sekali rasanya.

Membentuk Childhood Memories untuk Anak-anak

Berangkat dari pengalaman saya waktu kecil, ada beberapa hal yang menurut saya berperan dalam membentuk childhood memories ini.

  1. Luangkan waktu. Ini yang menurut saya susah di jaman gadget dan serba sibuk. Kalau diingat-ingat, semua momen terindah di masa kecil dengan orangtua adalah saat mereka meluangkan waktu untuk bermain, ngobrol atau membaca buku bersama. Sebagai orangtua kadang saya pun banyak mengambil shortcut, misalnya dengan membelikan mainan atau membolehkan mereka menonton TV atau main game. Hal-hal tersebut tidak akan membuat childhood memories yang baik. Sama seperti les; terkadang memang ada beberapa hal dimana kita perlu bantuan tutor atau guru les. Tapi saya masih ingat diajari main badminton oleh Bapak, diajari menulis halus oleh Mama. Waktu bersama adalah hal yang paling penting. Kalau kita sibuk, coba luangkan beberapa menit sebelum mereka tidur atau sesaat setelah mereka bangun. Saya punya misi setidaknya dalam sehari harus ada momen bercanda, berdiskusi atau bercerita dengan Arkan dan Azka.
  2. Meminta maaf. Terutama waktu dulu kedua orangtua saya sibuk sekolah, seringkali kami ditinggal di rumah berdua. Kadang akhir minggu pun kami ditinggal, tapi baik Bapak dan Mama selalu meminta maaf karena tidak ada di rumah. Saat Bapak melihat saya iri pada adik saya, jauh sebelum dia memberi pengertian, Bapak sudah meminta maaf karena terkesan tidak adil. Saat saya berkelahi dengan Mas Danang (tetangga yang lebih tua) dan menang. Dengan bangga saya cerita di meja makan; tapi setelah itu saya “diseret” Mama untuk mendatangi rumah Mas Danang dan meminta maaf. Tidak peduli siapa yang salah dan bagaimana peristiwanya, saya harus meminta maaf.
  3. Adaptasi. Adaptasi yang dimaksud di sini bukan hanya terhadap lingkungan baru, tapi kalau anak-anak biasanya akan protes kalau terjadi hal yang tidak sesuai rencana. Misalnya rencana berenang yang batal, sampai bermain dengan teman yang tidak kooperatif. Kemampuan anak (dan keluarga) untuk beradaptasi dan tetap ceria (make the most of it) dengan perubahan juga sering menjadi kejadian yang diingat. Karena ada momen kecewa di sana lalu ada momen lanjutannya, bisa jadi senang bisa juga tambah kecewa. Kami pernah menerima pelajar asing namanya Eng dari Singapura (program homestay) untuk tinggal di rumah kami. Di hari terakhir kami memberikan suvenir untuknya dan dia pun sama, dia berikan pajangan Merlion dari keramik. Belum sampai berpindah tangan si Eng tidak sengaja memecahkan keramiknya karena terbentur meja. Suasana hening sejenak, saya kecewa dan sulit untuk menyembunyikan perasaan tersebut. Eng pun luar biasa tidak enak rasanya karena suvenir itu sudah disimpan sejak hari pertama dia tinggal bersama kami. Tapi Bapak dan Mama hanya tertawa dan melontarkan berbagai lelucon hingga suasana cair kembali. Perpisahan pun tetap baik – kami makan bersama, bercanda bersama. Tiga minggu kemudian datang paket dari Singapura, isinya Merlion keramik pengganti. Lagi-lagi yang saya ingat bukan pajangannya, tapi berubahnya suasana awkward, menjadi cair kembali.

Kenangan masa kecil membekas begitu lama, semoga kami dan Anda sekalian bisa memberikan kenangan terbaik untuk anak-anak kita.

How about you? What are your childhood memories?

Leave a Reply

CommentLuv badge