Tentang Syarat Bahasa Indonesia bagi Pekerja Asing
Baru-baru ini Presiden Jokowi menginstruksikan kepada kabinetnya untuk memperingkas berbagai syarat dan prosedur administratif untuk berinvestasi di Indonesia. Salah satu syarat yang diberitakan akan dihapuskan adalah syarat kemampuan berkomunikasi dalam bahasa Indonesia bagi tenaga kerja asing (TKA). Penghapusan syarat ini dianggap oleh sebagian masyarakat sebagai kebijakan yang tidak “pro-rakyat” karena mengancam ketersediaan lapangan kerja bagi tenaga kerja Indonesia.
Pertama, silahkan coba Tes Bahasa Indonesia buatan Wall Street Journal ini. Tes nya singkat, 10 pertanyaan saja. Posisikan Anda di sepatu sang TKA yang mau masuk ke Indonesia. Indonesian is not so easy! :)
Kedua, seperti biasa – mari berangkat dari data supaya kita punya titik awal yang sama sebelum berasumsi. Indonesia adalah mesin ekonomi dengan pertumbuhan GDP terbesar ke-7 di dunia.[1] Untuk menggerakkan mesin ekonomi ini, saat ini (data Februari 2015) Indonesia memiliki angkatan kerja sebesar 128 juta jiwa. Dari angka tersebut, sebanyak 94,19% memiliki pekerjaan dan berstatus sebagai pekerja. Angka pengangguran saat ini sebesar 5,81%. Angka tersebut setara dengan 7,45 juta penganggur. Sebagian besar dari penganggur terbuka adalah mereka yang memiliki ijazah SMA (1,76 juta), SMP (1,65 juta), SD atau kurang (2,05 juta). Penganggur yang menyandang ijazah SMK sebesar 1,17 juta jiwa dan lulusan D3/S1 sebesar 800 ribu.[2]
Lalu berapa jumlah tenaga kerja asing di Indonesia? Tahun 2011, sebelum berlakunya Permenakertrans 12/2013 yang memuat syarat bahasa Indonesia, jumlah TKA di Indonesia adalah 77.300 orang. Pada tahun 2012, setelah diberlakukannya Permen jumlah ini turun ke 72.427 dan turun lagi menjadi 64.604 orang pada tahun 2013. Di tahun 2014, jumlah TKA naik lagi menjadi 70 ribu. Diperkirakan oleh Kemenaker bahwa jumlah ini akan bertahan hingga akhir 2015. Jumlah 77.000 ini adalah 0,006% dari keseluruhan angkatan kerja kita.
Andaikan saja sekarang juga terjadi pencaplokan lapangan kerja habis-habisan atas tenaga kerja Indonesia; dan semua TKA itu merampok lapangan kerja TKI; dampaknya tidak sampai 0,01%. Bukan berarti saya mengecilkan arti lapangan kerja 0,01%, tapi sebatas ingin mendudukkan sebuah angka pada porsinya.
Atas instruksi tersebut, terbitlah Permen yang baru yaitu Permenakertrans 16/2015. Permen (Peraturan Menteri) ini yang banyak dikritik karena menghapuskan syarat bahasa Indonesia. Yang tidak banyak dibahas adalah, Permen ini juga mensyaratkan dibukanya 10 lapangan kerja bagi TKI untuk setiap 1 TKA yang dipekerjakan. Ini berarti pada setiap waktu, di sebuah perusahaan hanya diperbolehkan 10% pegawai yang TKA – yang 90% adalah TKI. Ini tidak ada pada Permen sebelumnya. Yang juga tidak dibahas di media adalah, tidak semua jabatan di perusahaan boleh diduduki oleh TKA; hanya jabatan tertentu seperti komisaris, direksi dan jabatan profesional lain (engineer, teknisi spesialis, koki, dlsb) yang boleh diduduki itupun harus memenuhi syarat pendidikan dan pengalaman kerja 5 tahun.
Saya saat ini bekerja di sebuah perusahaan jasa migas di Myanmar dan bertanggungjawab mengelola unit bisnis yang membutuhkan TKA. Setiap tahun saya harus merencanakan berapa TKA yang saya pekerjakan dan berapa tenaga kerja lokal yang harus saya rekrut. Dalam melakukan perencanaan ini ada beberapa hal yang saya jadikan pertimbangan; dan ini kurang lebih sama di semua perusahaan. Dalam bisnis, tentu semua alasan-alasan ini pada akhirnya harus bisa dikuantifikasi untung dan ruginya:
1) Alasan kompetensi
Untuk negara yang baru saja membuka diri seperti Myanmar, harus diakui cukup sulit untuk mencari pekerja yang kompeten dan memiliki pengalaman yang cukup. Populasi pegawai lokal saya sebagian besar memiliki pengalaman kerja 1-5 tahun, pengalaman mereka pun terbatas dari segi teknologi dan kompleksitas pekerjaan; sementara klien-klien saya mensyaratkan pengalaman kerja minimal 5 tahun; kadang bahkan 10 tahun untuk kategori pekerjaan tertentu. Lalu kalau saya harus memaksakan mengambil tenaga kerja lokal – bagaimana caranya? Atau misalnya tenaga kerja asing diwajibkan berbahasa Myanmar, dari mana saya bisa dapat orang asing yang bisa berbahasa Myanmar sementara bahasa Myanmar hanya digunakan di Myanmar?
“Ah tapi Indonesia beda. Kita sudah merdeka 70 tahun, sudah banyak anak bangsa yang mampu.”
Migas Indonesia salah satu yang tertua di Asia Tenggara. Itu betul. Tapi kalau argumen tersebut benar adanya, lalu kenapa masih ada orang asing yang bekerja di Indonesia? Karena skillset saja tidak cukup. Terkadang kita butuh orang teknis yang juga bisa berbahasa Inggris dengan baik; butuh orang teknis yang juga bisa jualan, bisa membuka peluang bisnis (business development). Belum lagi faktor lain seperti jaringan/ relasi bisnis. Hal-hal seperti ini yang terkadang membuat perusahaan memilih tenaga kerja asing yang lebih kompeten dan berpengalaman.
Baiklah, tapi tunggu… hal-hal ini kan terkait pekerjaan untuk orang-orang yang sudah berpendidikan tinggi? Kenapa dibahas? Dari data di atas, terlihat bahwa porsi pengangguran terbesar ada pada angkatan kerja yang berpendidikan SD sampai SMA/SMK sebesar 89%.
Jadi seharusnya yang kita khawatirkan adalah pekerja Indonesia yang ada pada kelompok pengangguran atau tenaga kerja paruh waktu. Kalau orang berpendidikan sih gak usah dibahas!
Masalahnya kadang yang santer ber-protes ria dan “menggelorakan nasionalisme” untuk menentang kompetisi justru adalah dari kalangan yang berpendidikan. Kalangan yang tahu harus ke mana untuk mencari data pengangguran, yang bisa mencari penjelasan pasal dalam Undang-undang; kalangan yang terus terang sebenarnya memiliki job security yang baik karena mereka berwawasan luas, melek industri dan mempunyai resource untuk mengembangkan diri.
Seperti halnya di negara lain, saya cukup yakin, kalau para pengusaha itu ditanya – pilih pakai SDM lokal atau asing, sebagian besar akan menjawab lokal – karena lebih murah. Tapi ada syaratnya, mereka harus kompeten. Sudah itu saja. Menggunakan tenaga kerja asing itu mahalnya bukan main. Harus ada insentif bagi mereka untuk mau bekerja di Indonesia. Semuanya harus lebih tinggi. Gaji lebih tinggi, tunjangan rumah tinggi, tunjangan telepon internasional, broadband internet untuk video call, belum lagi berbagai tunjangan liburan dan pensiun. Biaya yang dikeluarkan untuk mempekerjakan tenaga kerja asing di Indonesia sangat besar, bisa 5-10 kali lipat dibanding mempekerjakan orang lokal.
Belum lagi denda yang harus dibayar kepada pemerintah daerah. Untuk setiap TKA yang dipekerjakan, perusahaan harus membayar “denda” (istilah resminya sih dana kompensasi) ke pemerintah sebesar 100 USD per bulan selama TKA tersebut bekerja di Indonesia. Saya kesulitan mencari data yang mutakhir, tapi pada tahun 2010 saja total denda yang dikumpulkan oleh BNI ada sebesar 59 juta USD, pada waktu itu setara dengan 534 Milyar Rupiah. Ini menjadi pendapatan negara bukan pajak [3].
Lalu kalau mahal, kenapa perusahaan melakukannya? Ya karena tidak ada pilihan lain. Apalagi kalau nilai bisnisnya tinggi, terlalu besar risikonya bila diberikan ke pekerja yang tidak qualified. Akhirnya mau tidak mau, diseraplah ongkos tersebut demi nilai kontrak/ proyek yang besar; yang penting bisnis terus berjalan.
2) Alasan biaya
Umumnya memang mempekerjakan tenaga kerja asing biayanya mahal, tapi terkadang justru sebaliknya. Contoh paling mudah adalah melihat TKI di luar negeri, yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga atau pekerja bangunan. Di banyak negara, sulit sekali untuk mencari orang yang mau, misalnya mengurus orang jompo. Perawat yang bersertifikat dan kompeten mengurus orang jompo biayanya mahal. Mereka juga lebih suka bekerja di nursing home yang besar dan bonafide. Jauh lebih murah mendatangkan pembantu dari Indonesia dan suruh dia untuk merawat orang jompo. Di Amerika juga begitu, sehingga ada stereotype orang Mexico pandai berkebun misalnya karena banyak tukang kebun di Amerika yang berasal dari Mexico.
Supir taksi Pakistan di Emirat Arab, buruh pabrik Romania di Norwegia. Semua ada di sana karena mereka mau dibayar lebih murah dibanding bila perusahaan harus mempekerjakan tenaga kerja lokal. Selain itu, tenaga kerja lokal juga sudah tidak berminat lagi melakukan “pekerjaan kasar” seperti itu.
Gaji TKI di Malaysia per bulan setara dengan 2,5 juta Rupiah; rendah sekali untuk bisa hidup di luar negeri. Saya pernah ngobrol dengan supir taksi di Abu Dhabi, dia bercerita kalau gajinya kecil sekali sehingga dia dan tujuh orang kawannya patungan menyewa apartemen studio. Berbagi satu kamar, satu kamar mandi untuk delapan orang selama bertahun-tahun. Uangnya dia kirim ke Pakistan untuk menghidupi keluarganya di sana.
Nah kembali ke Indonesia, dengan dihapusnya syarat bisa berbahasa Indonesia; apakah golongan kerah biru ini yang akan terancam? Saya kira tidak. Satu-satunya alasan untuk mengganti TKI dalam negeri dengan TKA, adalah biaya. Kalau memang menjadi buruh pabrik di Indonesia itu begitu menggiurkan, pasti sudah banyak orang luar negeri yang berbondong-bondong (secara legal) untuk bekerja di Indonesia. Kenyataannya tidak.
3) Kebijakan perusahaan
Ini adalah alasan ke-tiga kenapa perusahaan memilih mempekerjakan TKA. Beberapa perusahaan membawa semangat multikultur. Keragaman warganegara, budaya pegawai dipercaya akan menguatkan budaya kerja sebuah perusahaan. Perusahaan seperti ini banyak membuka peluang bagi pekerjanya untuk ditugaskan sementara di berbagai negara. Hal ini baik, tidak hanya bagi si pekerja tapi juga bagi perusahaan karena dia akan memiliki angkatan kerja yang luas wawasannya dan pernah menghadapi berbagai tantangan yang unik di masing-masing lokasi kerja.
Thailand mempunyai kebijakan yang baik dan bisa ditiru oleh Indonesia. Apabila sebuah perusahaan ingin mempekerjakan tenaga kerja asing yang berpengalaman kurang dari 5 tahun,
maka syaratnya adalah perusahaan tersebut juga harus menempatkan tenaga kerja Thailand di cabangnya di luar negeri. Kualifikasinya pun harus sama. Kalau mereka mau menempatkan satu TKA sebagai trainee engineer, maka mereka juga harus menempatkan satu trainee engineer dari Thailand untuk bekerja di luar negeri. Lamanya ijin kerja diberikan selama 1 tahun. Dengan begitu, win-win. Perusahaan bisa mendatangkan tenaga kerja asing profesional tapi pemerintah Thailand juga menambah diaspora pekerja Thailand di luar negeri.
Penilaian Absolut VS Komparatif
Menilai sesuatu terkadang perlu dipandang secara absolut dan komparatif. Misalnya begini; bila Anda lulus kuliah dengan IPK 3.5, secara absolut Anda adalah mahasiswa yang hebat dan teorinya mudah sekali mendapat pekerjaan yang Anda inginkan. Tapi bila seluruh pelamar kerja memiliki IPK 3.5 ke atas, maka secara komparatif Anda jadi kandidat yang biasa-biasa saja. Kebijakan mewajibkan TKA bisa berkomunikasi dalam bahasa Indonesia, itu secara absolut tentu bagus. Kebijakan ini memasyarakatkan bahasa Indonesia, mempercepat transfer keahlian dan melindungi TKI. Tapi secara komparatif, tidak ada negara lain yang mensyaratkan hal tersebut; dan ini membuat Indonesia menjadi kalah menarik dalam hal penempatan tenaga kerja (kompetensi) yang dibutuhkan investor, khususnya mereka yang memulai sebuah bisnis baru atau akan ekspansi ke segmen pasar/ produk lain. Dalam menilai kebijakan, kita sebaiknya tidak hanya berkaca pada nilai-nilai absolut (nasionalisme, proteksionisme) tapi penting juga kita ambil satu langkah ke belakang dan melihat seperti apa kebijakan ini bila disandingkan dengan kebijakan negara-negara lain. Negara tetangga di ASEAN tidak ada yang memiliki syarat demikian.
Sebagian dari tugas pemerintah itu ibarat mengelola sebuah mall. Mall yang bersih, infrastrukturnya baik, terpelihara, SDM nya kompeten, biayanya reasonable, syarat dan ketentuannya bersahabat tentu akan banyak yang mau berbisnis di situ. Tidak hanya penjual, konsumen pun akan memilih mall yang lebih nyaman. Sebaliknya mall yang tidak terpelihara, syarat dan ketentuannya berbelit, SDM nya tidak kompeten, biayanya mahal pasti akan sepi. Indonesia juga demikian. Kalau pemerintah tidak bisa membuat iklim bisnis yang baik, maka para investor akan pindah ke negara lain.
Investor dalam hal ini tidak hanya investor asing. Investor/ pebisnis lokal pun, misalnya mau berjualan stik golf atau tas-tas premium; kalau mau impor dikenakan pajak barang mewah dan membuat biaya mereka lebih tinggi. Lebih murah kalau melancong ke Singapura, beli 3-5 biji di sana bisa claim back VAT refund, selundupkan ke Indonesia sebagai barang pribadi lalu dijual. Penjual laptop dan ponsel juga banyak yang melakukan hal ini. Lalu apa yang terjadi? Para penjual jujur yang ikut aturan main mengimpor secara resmi jadi tidak laku karena harganya lebih mahal daripada “barang BM”. Para penjual yang mati-matian mengefisienkan jalur supply chain-nya kalah bersaing dengan para penyelundup. Penjualan turun, laba bersih turun sementara biaya membengkak; akhirnya tutup. Yang untung siapa? Yang paling untung ya para pengusaha di negeri tetangga yang bisa menjual produk lebih murah karena iklim bisnis di sana lebih bersahabat. Para pebisnis di negeri tetangga, mereka tidak melanggar hukum, kepastian bisnis lebih baik dan karena resmi tentu mereka juga membayar pajak yang akhirnya menguntungkan negara tempatnya bernaung.
Kalau Indonesia dibikin lebih bersahabat, yang diuntungkan juga pengusaha, yang menggaji pegawai Indonesia, yang lalu menggunakan uang tersebut untuk berbelanja di warung-warung, showroom orang Indonesia dan terus memutar roda perekonomian di Indonesia.
Kema(mp)uan Bersaing
Kompetensi adalah kuncinya. Kalaupun aturan tentang bahasa Indonesia ini mau dipertahankan, itu tidak akan bisa menyelesaikan masalah “kemampuan bersaing”. Kemampuan bersaing itu perjalanan yang panjang, ada aspek hard skills yang dikemas dalam bentuk ilmu di bangku sekolah; dan juga soft skills seperti bahasa, kepemimpinan, pergaulan, komunikasi dan sebagainya. Kombinasi keduanya akan membuat manusia Indonesia mampu bersaing dengan tenaga kerja asing. Saya sudah berjumpa banyak sekali orang Indonesia yang bekerja di luar negeri, bersaing dalam karir, dalam perebutan klien dan berhasil – mereka semua sangat kompeten di bidangnya. Hanya saja memang jumlahnya masih kurang banyak dibanding dengan tenaga kerja dari negara-negara lain.
Kita kadang terlalu terlena dengan berbagai berita yang kaya sensasi tapi miskin esensi permasalahannya. Bila bisnis (asing ataupun lokal) bisa sukses di Indonesia, tentu masyarakat Indonesia juga yang merasakan manfaatnya. Contohnya kereta super cepat; banyak yang berdebat kenapa Jepang bukan Cina, kenapa Cina bukan Jepang. Siapapun yang menang, Indonesia akan tetap menang karena merintis adanya kereta api supercepat. Mobilitas masyarakat terbantu, akan ada proyek-proyek lanjutan kalau ini berhasil.
Tentu akan ada yang berargumen ini masih belum perlu, masih banyak orang miskin dan sebagainya. Kalau saya, bila ada orang Indonesia yang bertekad untuk membuat prototype project yang ambisius, kenapa tidak? Selain tenaga kerja dan modal yang terserap, juga akan ada kurva belajar di situ. Pemimpin yang sukses bukanlah orang-orang yang punya mimpi “ecek-ecek”. Saya ingat suatu sesi CEO Speaks ada salah satu CEO perusahaan software terbesar di Indonesia yang berkata:
“Apabila Anda banyak diserang karena target yang ambisius, apabila Anda ditertawakan karena mempunyai mimpi yang tinggi; maka Anda ada pada jalan yang benar.”
Sedemikian yakinnya dia bahwa semua bermula dari mimpi/ target yang ambisius. Tentu diikuti dengan upaya yang keras. Sementara kita; dulu proyek pesawat, mobil nasional; sekarang tol laut,
kereta cepat, semua ditertawakan; ditembaki idenya sampai jatuh dan kalau bisa diinjak sampai ide tersebut mati sebelum dicoba. Setelah itu, nanti 10 tahun kemudian kita lagi-lagi bercermin dan prihatin kenapa Korea sudah bisa membuat Samsung sedemikian besarnya. Kita curiga kenapa Cina begitu ngotot untuk berinvestasi di Indonesia. Kita cibir Malaysia dulu belajar minyak dari Indonesia, padahal Petronas punya kilang di seluruh dunia. Mereka bisa sampai di sana karena mereka membangun kompetensi bertahun-tahun. Cina apalagi, sampai sekarang pun produknya masih dicibir padahal mereka sudah ikut merakit International Space Station. Dicibir tapi terus membangun.
Saat kita khawatir syarat bahasa Indonesia akan mempersulit kita dalam mencari pekerjaan, menurut saya kita justru punya problem yang lebih besar dari sekedar pengangguran dan kompetensi. Problem yang lebih besar adalah kemauan berkompetisi. Kemauan muncul sebelum kemampuan. Seleksi alam itu ada dan akan selalu ada. Kalau kita tidak survive dalam suatu lingkungan, maka secara alamiah kita akan mencari lingkungan baru. Adaptasi. Keluar dari zona nyaman memang susah, tapi itulah yang dilakukan para TKA yang sekarang kita takuti. Daripada terus-menerus menuntut minta dilindungi, bagaimana kalau kita sedikit demi sedikit mencoba keluar dari zona nyaman?
Sumber dan bacaan lanjutan:
[1] Peringkat Ekonomi Dunia – Berita CNN Money
[2] Data Angkatan Kerja dan Pengangguran Februari 2015 – Depnakertrans
[3] Dana Kompensasi TKA – Berita Kontan
[4] Susahnya bekerja di Jepang – Artikel blog profesional SDM
[5] Jumlah TKA di Indonesia – AntaraNews
[6] Peraturan Menteri No.12/2013
[7] Peraturan Menteri No.16/2015
Keren tulisannya mas.ijin share di TL twitter saya :)
Hi Meirina. Yak silahkan…
Syarat itu kayaknya memang gak perlu, yang wajib itu bahasa internasional bahasa Inggris, toh pekerja asing yang sudah 1 tahun keatas kerja disini kemungkinan besar dia akan bisa bahasa Indonesia dengan sendirinya
Belum tentu juga – hehehe tergantung kemauan masing-masing tenaga kerja. Tapi yang penting di sini adalah orang yang benar-benar kompeten yang mengerjakan