Recep Tayyib Erdogan

Selama dan selepas kunjungan Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan (baca: er-do-wan), masyarakat Indonesia dilanda euforia. Ada yang memuji kepiawaiannya mengelola ekonomi selama ia menjadi Perdana Menteri, ada yang bilang ia mampu mengembalikan “taring” militer Turki seperti sediakala. Pada tahun 2011 saat wilayah Timur Tengah mengalami kebangkitan yang dikenal dengan Arab Spring, yang diwarnai pemberontakan di Mesir, Libya dan Tunisia; kepemimpinan Erdogan ibarat sebuah mercusuar. Banyak negara berharap model demokrasi yang ada di Turki dijadikan model di negara-negara di kawasan tersebut.

Tentu sah-sah saja untuk menyukai Erdogan, tapi sebaiknya alasan untuk menyukainya bukan mengada-ada. Sebenarnya tidak perlu juga mengada-ada karena selain dia pemimpin yang berkarakter kuat, dia juga adalah pemimpin yang mampu/ capable. Turki di bawah kepemimpinan Erdogan mengalami berbagai kemajuan. Saya ingin mengulas sikap politik Erdogan, khususnya tentang hubungan Turki dengan Israel; juga posisinya terhadap Sultanat Islam. Kedua hal ini yang banyak dijadikan latar belakang pengidolaan Erdogan di Indonesia. Mari kita lihat juga hal positif apa saja yang selama ini telah dilakukan Erdogan; tidak hanya sebatas retorika atas dua hal tersebut, namun kebijakan yang diambilnya untuk merestorasi Turki.

Erdogan Tidak Ingin Menghancurkan Israel

Erdogan sering mengkritik praktek perluasan wilayah Israel atas Palestina. Saat terjadi insiden penyerangan kapal Freedom Flotilla pada 2010 yang membawa bantuan sosial ke Gaza, ia pun sangat keras mengecam tindakan Israel di saat Amerika Serikat terkesan malu-malu ingin mengecam, padahal ada juga salah satu warganya yang meninggal pada insiden tersebut. Keberanian Erdogan dalam mengkritik banyak dipuji dan menjadi buah bibir khususnya di komunitas Islam di berbagai penjuru dunia.

Namun demikian perlu dipahami bahwa kerasnya reaksi Erdogan tidak berarti pemerintahannya membenci apalagi ingin menghancurkan Israel. Selama bertahun-tahun hubungan antara Israel dan Turki terjalin dengan sangat baik. Kerjasama kedua negara dilakukan di berbagai bidang. Sampai saat ini, warga negara Israel masih diperbolehkan untuk masuk ke Turki bebas visa selama 90 hari. Berbeda dengan pemegang paspor Palestina yang harus terlebih dahulu mengajukan permohonan visa dan setelah dikabulkan diijinkan masuk selama 30 hari [1].

Pada tahun 2014, hubungan perdagangan Turki-Israel mencapai rekor tertinggi sepanjang sejarah, sebesar 5,44 Milyar USD. Dari jumlah tersebut 2,75 Milyar USD berupa ekspor dari Israel ke Turki, dan 2,68 Milyar USD berupa ekspor dari Turki ke Israel [2]. Volume ini justru naik 50% sejak pertama kali Erdogan “menghajar” Shimon Perez di World Economic Forum di Davos pada 2009. Mungkin bisa didebat bahwa perdagangan tersebut adalah B2B (Business to Business) alias sektor swasta, tapi pada akhirnya tetap saja itu memperkuat ekonomi di kedua negara. Tentu dengan volume perdagangan sebesar ini, saya cukup yakin Erdogan dan pemerintah Turki tidak akan menghentikan apalagi menghancurkan Israel.

Meskipun retorikanya keras dan tajam, tapi kalau kita amati berbagai wawancara Erdogan; dia cukup tegas membedakan antara “warga Israel” dengan “pemerintah Israel”. Ini yang kadang menurut saya menjadi sumber kesalahpahaman. Saat dia mengecam Israel, sesungguhnya yang dia kecam adalah pemerintah. Penduduk Israel yang lain; pelajar, mahasiswa, pebisnis, mereka semua tidak ada masalah dengan Turki. Secara geopolitik juga Amerika Serikat dan Turki adalah sekutu yang cukup dekat dalam organisasi NATO; dan kita semua tahu AS dan Israel adalah juga sekutu dekat. Sehingga setidaknya sampai saat ini, tidak mungkin Turki menghancurkan atau ikut menyerang Israel.

Erdogan adalah Pemimpin yang Pro-Sekularisme

Memang agak membingungkan. Retorika dan citra yang ia bangun, demikian juga dengan upaya terakhirnya dalam Pemilu 2015 ini untuk merubah konstitusi dan memperluas kekuasaan presiden atas kekuatan lainnya (yudikatif dan legislatif); seolah-olah memang mengarah ke ambisi membangkitkan lagi kejayaan Ottoman Empire. Romantika ini banyak dihembuskan di Indonesia.

Saat terjadi Arab Spring pada 2011, Erdogan mengunjungi Mesir dan dalam salah satu wawancara, saya kutip dari pidatonya [3]:

“I recommend a secular constitution for Egypt. Do not fear secularism because it does not mean being an enemy of religion. I hope the new regime in Egypt will be secular. I hope that after these remarks of mine the way the Egyptian people look at secularism will change.”

“Saya mengusulkan sebuah konsitusi yang sekular untuk Mesir. Jangan takut pada sekularisme karena ia tidak berarti memusuhi agama. Saya harap rezim yang baru di Mesir adalah rezim yang sekular. Saya harap setelah mendengar penjelasan saya, cara pandang rakyat Mesir terhadap sekularisme akan berubah.”

Meskipun Erdogan adalah Muslim dan didukung oleh partai politik (AKP) yang berbasis “demokrasi konservatif”, yang dulunya berhaluan Islamis; ia tetaplah pemimpin sebuah negara yang sekular. Meski  banyak yang meragukan komitmen AKP dalam menjaga sekularisme, secara formal mereka tidak mengakui berbagai anggapan atas aspirasi terbentuknya Neo-Ottoman empire ataupun sultanat.

Saat awal mencalonkan diri sebagai Perdana Menteri, pihak oposisi dan pemilih berlatar sekular mengkhawatirkan ia akan membawa Turki keluar dari sekularisme. Selama ia menjabat dan hingga sekarang kekhawatiran ini tidak (atau belum) terbukti.

 

Langkah-langkah Menuju Perubahan

Erdogan mengambil alih kepemimpinan pada tahun 2003, saat Turki masih dalam upaya bangkit dari krisis. Dalam dua periode kepemimpinan dia berhasil merestorasi Turki. Perekonomian membaik dan wibawa di mata dunia pun membaik. Terlepas dari berbagai sentimen atau romantika yang banyak dihembuskan media, pada akhirnya kebijakan dan perundangan dibawah pimpinannya lah yang membawa perbaikan bagi Turki. Bagaimana dia melakukan itu?

Di dalam negeri, Erdogan didukung oleh mayoritas kursi di parlemen. Ini tentu memudahkan dia dan kabinetnya dalam meloloskan berbagai undang-undang berdasarkan arah kebijakan yang dia ambil. Sinergi antara pemerintah dan parlemen sangat penting dalam perencanaan ataupun eksekusi pembangunan. Diwarisi utang IMF sebesar 24 Milyar USD, kabinetnya harus memutar otak untuk dapat menggenjot GDP dan membayar utang. Investasi di berbagai sektor dari dalam maupun luar negeri, dipermudah. Hasilnya, mengalirlah investasi dari berbagai penjuru dan mengakibatkan pertumbuhan GDP sebesar 64% [5]. Berbagai investasi juga membuat pertumbuhan di sektor infrastruktur. Jumlah bandara di Turki naik dari 26 menjadi 50, belum lagi berbagai proyek rel kereta api, kereta super cepat dan terowongan bawah laut. Beberapa perubahan di sektor sosial budaya juga terjadi, seperti jaminan sosial dan tenaga kerja (yang ini sebenarnya adalah bagian dari syarat utang IMF – ingat bahwa kadang utang dari lembaga moneter datang dengan syarat diterapkannya sebuah kebijakan).

Ramainya investasi dari berbagai negara juga salah satunya karena Erdogan mengambil kebijakan yang ia sebut dengan istilah Zero Problem [4], dimana Turki mengambil posisi damai terhadap semua negara khususnya tetangga dekatnya. Kebijakan ini juga mencakup langkah-langkah yang diambil Turki untuk memperbaiki hubungan yang sebelumnya kurang harmonis, seperti misalnya hubungan dengan negara-negara Arab, Iran sampai yang paling terakhir kemarin Armenia. Zero problem policy ini tidak hanya menarik investor untuk masuk ke Turki, tapi juga membuat negara-negara lain terbuka terhadap investasi dan kerjasama dengan Turki.

Di bidang pertahanan, Turki terkenal memiliki jumlah tentara yang besar. Saat Erdogan menjadi Perdana Menteri, ia berambisi membuat Turki kuat tidak hanya dari segi jumlah tentara tapi juga dari segi persenjataan. Erdogan mempunyai keyakinan bahwa Turki tidak akan bisa menjadi pemain kunci di wilayah Mediterania, tanpa memiliki kekuatan militer. Oleh karena itu ia mempunyai keinginan membuat alat-alat persenjataan dalam negeri. Selama ia menjabat, industri persenjataan Turki berkembang pesat. Mereka mampu membuat mulai dari senjata api sampai tank, sebagian besar menggunakan komponen dalam negeri dan dibuat oleh perusahaan dalam negeri. Desain untuk pesawat tempur pun saat ini sudah pada tahap akhir dan rencananya pada tahun 2023 sudah bisa diproduksi secara massal.

Secara normatif, Erdogan adalah pemimpin negara yang berhasil; no doubt. Secara komparatif pun, kita bisa bandingkan dia dengan presiden atau perdana menteri lain yang telah menjabat selama periode yang sama. Different blokes, different strokes. Tentu saja, tiap orang mempunyai cara sendiri-sendiri, tiap negara pun tidak bisa disamakan. Namun demikian apa yang telah dicapainya selama ini tidak dapat dipungkiri. Sampai sekarang pun, Erdogan masih menjabat sebagai presiden dan memiliki pengaruh yang kuat atas perdana menteri yang baru.

*Disclaimer: Tentu ada juga beberapa hal negatif yang dilakukan oleh Erdogan; untuk menciptakan stabilitas, ia banyak dikritik karena tangan besinya dalam “membungkam” pers, lebih dari 60 wartawan dipenjarakan dalam masa jabatannya, kemampuan memproduksi senjata ada efek negatifnya, kebijakan Zero Problems pun pada akhirnya juga menjadi bumerang bagi Turki; tapi dalam kerangka mengulas keberhasilan Erdogan dalam memulihkan Turki, hal-hal tersebut tidak saya bahas di artikel ini.
*Sumber

1. Visa Information for Foreigners – Turkish Ministry of Foreign Affairs
2. Israel-Turkey Trade Reach Record High – Brookings Institute
3. Erdogan’s Message to Cairo – Hurriyet Daily
4. Turkey’s Zero Problem Policy – Foreign Policy
5. Trading Economics

 

Leave a Reply

CommentLuv badge