Syria: (Minyak) Sunni VS (Minyak) Syiah
That land over there is yours. You will go back to it one day, because your fight will prevail and you’ll have your homes and your mosques back again, because your cause is right and God is on your side.
Tanah di sana adalah tanah Anda. Suatu hari kalian akan kembali ke sana, karena akan memenangkan perjuangan (perang) ini dan kalian akan merebut kembali rumah-rumah dan masjid-masjid kalian; karena niat kalian adalah mulia dan Tuhan ada di sisi Anda. [1]
Penggalan pidato di atas diucapkan di hadapan pejuang Mujaheedin di Pakistan, di perbatasan Afghanistan. Tahukah Anda siapa yang mengucapkannya? Bukan sang panglima perang, bukan juga pemuka agama.
Cuplikan tersebut diambil dari pidato Zbigniew Brzezinski.
Brzezinski adalah penasihat keamanan (National Security Advisor) untuk Presiden Amerika Serikat (AS) Jimmy Carter. Brzezinski bukan seorang muslim, tapi dia menggunakan frasa “masjid kalian” dan “Tuhan di sisi kalian” sebagai penggelora semangat tempur para mujaheedin. Sejak pertengahan 1979, pemerintah AS melalui Central Intelligence Agency (CIA) mendukung pejuang Mujaheedin di Afghanistan untuk meredam pengaruh Uni Soviet di sana [3]. AS tidak sendiri, ia didukung oleh sekutu utamanya di Timur Tengah, yaitu Arab Saudi. Pakistan, yang berbatasan dengan Afghanistan juga ikut serta memberikan dukungan infrastruktur dan juga penyelundupan senjata. Poros Washington-Riyadh-Islamabad ini berlangsung cukup lama. Hingga pertengahan 1980an, Saudi Arabia adalah penyumbang terbesar kepada kelompok mujaheedin [2].
Motivasi AS pada saat itu, sebagian didasari tekanan dari perang dingin (perang influence/ pengaruh) untuk memperebutkan dominasi. Namun tentu ada alasan yang lebih kuat sampai mereka mau melibatkan diri dalam mempersenjatai para mujaheedin. Kenapa Afghanistan? Pada tahun 1960, Uni Soviet melakukan eksplorasi dan menemukan cadangan gas di sana; tidak lama kemudian mereka membangun pipa untuk pertama kali di negeri itu. Selain gas ditemukan juga deposit logam seperti bijih besi, tembaga dan berbagai logam mulia lainnya [10]. Afghanistan menjadi wilayah yang menarik untuk diambil kendalinya (dijajah). Ada motif ideologi, tapi untuk benar-benar melangkah tentu diperlukan motif (atau setidaknya perhitungan) ekonomi. Perang, dengan segala “uborampe”-nya itu mahal.
Dari dulu sampai sekarang, semua konflik di Timur Tengah, selalu ada campur tangan AS; every single one. Konflik Israel-Palestina yang berkepanjangan, Perang Teluk, Perang Afghanistan, Irak dan tidak terkecuali konflik yang berlangsung di Syria saat ini. Pelajaran Sejarah secara singkat mengajarkan kita bahwa perang-perang tersebut didasari perang ideologi dan upaya “mempertahankan diri” dari penjajahan. Kemerdekaan, kapitalisme dan demokrasi yang diusung AS dan sekutunya; melawan sosialisme dan komunisme yang dibawa oleh Uni Soviet.
1979
Pada sekitar tahun 1979 banyak peristiwa besar yang terjadi secara beruntun. Pemilu Afghanistan dimenangkan oleh partai komunis, yang berporos ke Uni Soviet. Saat itu perang dingin antara AS dan Uni Soviet juga sedang berlangsung. Revolusi Iran menumbangkan Shah Reza dan berujung pada diangkatnya Khomeini sebagai Supreme Leader. Gejolak di Iran melahirkan agresi militer Irak terhadap Iran yang kemudian berlanjut hingga 8 tahun lamanya.
Ada beberapa hal menarik yang terjadi pada saat itu:
- Shah Reza, dengan bantuan AS berhasil menumbangkan Presiden Iran Mohammad Mossadeq. Bantuannya tidak sembarang bantuan, pada tahun 1953 Operation Ajax yang dikoordinasi oleh CIA ditugaskan khusus untuk menggulingkan rezim Mossadeq. Di bawah pemerintahan Shah Reza, Iran mengalami modernisasi dan liberalisasi ekonomi di berbagai bidang. Selama lebih dari dua dekade, Shah Reza memerintah dan akhirnya ditumbangkan oleh revolusi Iran pada 1979. Kenapa Shah Reza penting bagi AS? Oke, dari segi ideologi Shah Reza lebih condong ke demokrasi a la AS. Tapi lebih dari itu, di bawah Shah Reza AS memiliki akses langsung terhadap cadangan minyak di Iran. Andaikan Iran terus berada dibawah kuasa Presiden Mohammad Mossadeq, seluruh ladang minyak di Iran akan dinasionalisasi. Di bawah Shah Reza perusahaan-perusahaan Amerika dan sekutunya mendapatkan porsi dari produksi minyak (AS 40%, Inggris 40%, Perancis dan Belanda 20%) [4]. Dengan digulingkannya Shah Reza pada 1979, tentu AS akan kehilangan pemasukan ini. Shah Reza berideologi Syiah, presiden sebelumnya dan Imam penggantinya pun Syiah. Dinamika AS di Iran tidak dipicu oleh agama penduduk atau pemimpin Iran; almost purely economic.
- Melihat perkembangan ini, AS tidak tinggal diam. Untuk mengantisipasi efek dari revolusi Islam di Iran, mereka perlu melakukan penyeimbangan kekuatan atau balancing of power; Iran yang saat itu rapuh karena revolusi, harus segera dilemahkan. Dirangkullah Sadam Hussein untuk memimpin krusade ini. Jargon yang dijual tidak jauh dari “stabilisasi”, “kedaulatan Irak”, bahkan sampai friksi “Syiah VS Sunni”. Saddam Hussein menjadi pemain kunci dalam perang melawan Iran. Tapi apakah benar AS begitu menginginkan Sunni untuk berdaulat di atas Syiah? Apakah menurut AS, Irak berhak menguasai Iran karena itu adalah hak kedaulatan mereka? Saya kira tidak. Dukungan AS terhadap Sadam dikarenakan adanya prospek minyak di Iran. Belum lagi lokasi strategis Iran di selat Hormuz. Perang ini berlangsung delapan tahun lamanya, menewaskan lebih dari 1 juta orang. Untuk apa? Minyak.
Bahwa ada friksi Syiah dan Sunni di Timur Tengah itu benar adanya. Bagi sebagian pemerintah kuat di dunia, konflik ini penting karena mudah sekali digunakan sebagai “backdrop” agresi militer, untuk menutupi atau mengaburkan motif ekonomi di balik agresi tersebut. Sebagian besar kebijakan perang yang diambil AS, sekutu mereka dan “musuh” mereka di Timur Tengah, tidak jauh-jauh dari minyak (atau gas). Dalam perang Irak-Iran, selain Iran memiliki cadangan minyak yang besar (produksi mereka pernah sampai 6 juta barrel per hari), Iran juga punya kendali terbesar atas selat Hormuz. Selat ini adalah selat yang sangat penting bagi perdagangan minyak dunia, karena lebih dari 20% dari pasokan minyak di dunia, melewati selat Hormuz. Bisa dibayangkan kalau sampai lalu lintas kapal tanker di selat ini terganggu, tentu pasokan terganggu. Siapa negara yang terimbas kalau tiba-tiba Iran memblokade selat ini? Tentu Arab Saudi, Iraq, Kuwait, Qatar, Emirat Arab yang pantainya bertemu dengan selat ini. Dan kesemua dari negara tersebut pada waktu itu (hingga sekarang) bersekutu dengan AS.
Konflik yang belum lama terjadi di Yemen juga sama, dimana Arab Saudi memimpin inisiatif untuk mendukung Yemen secara militer. Anda cukup “klik” peta ini dan amati dimana Yemen berada, selat apa yang ada dibawah kendalinya dan negara mana yang terimbas bila sampai terjadi monopoli atau bahkan blokade atas selat tersebut. Benar bahwa pemberontak Syiah Houti itu golongan musuh Sunni, tapi apa benar Arab Saudi sampai mau menggerakkan kekuatan militernya hanya untuk menghancurkan kelompok pemberontak kecil? Apa benar ini masalah ideologi? Jika demikian, tentu Arab Saudi dan tetangga-tetangganya seharusnya lebih “emosi” terhadap konflik Israel-Palestina yang jelas-jelas lebih kental dengan isu agama dan terjadi penindasan di sana. Tapi tidak pernah ada cerita agresi militer Arab Saudi ke sana. Kenapa?
Konflik di Syria: Apakah ini juga Perang Ideologi?
Sejak “demam demokratisasi” di Timur Tengah (Arab Spring) melanda mulai tahun 2011; konflik di Syria lah yang terpanjang. Tunisia, Mesir, Libya, Yordania, Yemen semua sudah melalui fase penggulingan rezim yang juga berdarah tapi tidak ada “apa-apanya” bila dibandingkan dengan kehancuran yang sedang terjadi di Syria. Ini beberapa catatan penting dari konflik Syria.
- Berbeda dengan negara lain, di mana umumnya hanya dua pihak dominan yang bertikai; di Syria ada 3 pihak yang sedang bertikai. Yang pertama adalah pemerintah incumbent di bawah Bashar Al Assad yang secara formal adalah penguasa sah setelah “memenangkan” pemilu. Pihak ke-dua adalah golongan pemberontak Islam. Sebenarnya ada lebih dari satu golongan pemberontak, tapi kesemuanya menginginkan turunnya rezim Bashar. Kelompok pemberontak ini didukung oleh Amerika Serikat, Arab Saudi dan sekutu mereka. Dukungan yang diberikan berupa senjata, yang dibeli dari Amerika, Cina atau Rusia dan diselundupkan ke Syria. Pihak ke-tiga, adalah ISIS. ISIS ini ibarat kuda hitam yang tiba-tiba muncul dan mengacaukan konstelasi kekuatan di Syria.
- ISIS membawa premis ideologis bahwa Khalifah Islam adalah satu-satunya cara untuk menghilangkan semua problematika dunia dan membawa kejayaan bagi seluruh umat manusia. Salah satu kunci keberhasilan ISIS adalah kemenangan mereka di Mosul, kota terbesar ke-dua di Irak. Bank sentral di Mosul menyimpan sedikitnya 285 Milyar Poundsterling dan ribuan (mungkin puluhan ribu) kilo emas. Namun demikian, sebenci apapun mereka atas sistem finansial yang ada saat ini, semua perangkat ISIS termasuk pejuang-pejuang mereka masih dibayar dalam USD [5]. Selain emas, ISIS juga juga menguasai sedikitnya 11 ladang minyak di Irak dan Syria. Minyak ini dijual di black market, dengan harga yang sangat murah hingga 70% dibawah harga pasar [6]. Mereka juga membuka klinik yang cukup canggih di Mosul, untuk mengambil organ tubuh dari korban perang atau korban eksekusi. Organ ini lalu dijual ke berbagai tempat. Tentu sangat sedih melihat korban-korban penculikan dan tebusan yang diminta, tapi sesungguhnya uang (kalaupun didapat) dari berbagai negosiasi itu sungguh tidak berarti untuk ISIS. Laba yang didapat dari transaksi minyak mentah mereka saja diperkirakan 3 juta USD per hari, tapi perlu diingat tentunya 3 juta USD per hari itu tidak dalam bentuk cash, melainkan dalam bentuk ekuivalen dan tidak selalu dibayarkan setiap hari. Oleh karena itu, ISIS pasti memiliki cashflow yang cukup baik untuk bisa membiayai perang ini dari hari ke hari. Ada sponsor dana segar yang terus menggelontor masuk ke ISIS ini. Sayangnya saya belum menemukan tulisan faktual yang cukup berdasar tentang dari mana asal pendanaan ISIS ini, untuk itu saya tidak ingin berspekulasi; tapi yang jelas ada kekuatan besar yang menggerakkan uang. Tentu dari segi volume transaksi dan keterampilan menyembunyikan transaksi, praktik ini tidak bisa dilakukan oleh korporasi atau individu biasa. Ada keterlibatan negara (sindikasi) tertentu yang berpartisipasi dalam pembiayaan perang ISIS.
- Lalu kalau memang ISIS ini demikian kuat, kenapa pemberontak Islam (Pihak ke-dua) tidak mau bergabung ke ISIS? Actually, sebagian dari mereka sudah bergabung. Contohnya sleeper cell (kelompok kecil yang siap diaktivasi kapanpun) yang saat ini bertugas di Lebanon [7], bisa Anda simak wawancara dengan mereka pada tautan di akhir artikel ini. Sebagian bergabung karena ideologi, sebagian karena merasa ISIS yang akan menang, sebagian lagi tergiur upah yang lebih tinggi yang ditawarkan ISIS. Bukan rahasia lagi bahwa ISIS adalah organisasi yang paling kaya diantara yang ada. Mereka yang tidak mau bergabung dengan ISIS (pihak ke-dua) tentu membawa agenda tersendiri; agenda ingin menguasai Syria dengan aturan mereka sendiri, atau dengan berbagai agenda tambahan yang dititipkan oleh sponsor mereka, yaitu AS dan sekutunya di Timur Tengah.
- Seandainya mereka mau, sebenarnya kekuatan utama di dunia yang tergabung dalam Dewan Keamanan PBB sudah bisa menyelesaikan konflik ini melalui intervensi militer. Masalahnya, saat dilakukan voting di Dewan Keamanan tentang perlunya intervensi di Syria, ada dua negara yang mem-veto; menolak intervensi dan menolak penjatuhan rezim Bashar. Dua negara ini adalah Cina dan Rusia. Rusia dan Cina bukanlah negara Islam. Jadi gugur sudah relevansi perdebatan Sunni VS Syiah dalam hal keterlibatan mereka. Lalu kenapa mereka terlibat? Tentu ada vested interest dari kedua negara ini di Syria dan Irak, hingga Rusia sudah mengirimkan pesawat tempur untuk mengebom Syria untuk melemahkan sel-sel pemberontak di Syria. Menurut Putin, tidak ada jalan keluar bagi Syria selain memperkuat pemerintah yang sah, membangun kembali institusi negara dan merestorasi perdamaian di Syria. Jatuhnya Syria ke pihak ke-dua ataupun ke-tiga akan membawa kehancuran yang lebih dalam karena tatanan negara sudah hancur dan akan terus mendestabilisasi wilayah Timur Tengah. Ada satu hal lagi yang diungkapkan Putin sebagai “hypocrisy” dari AS dan sekutunya. Semua organisasi yang saat ini sedang memberontak rezim Bashar Al Assad, sudah lama diklasifikasikan sebagai terrorist group oleh PBB. Klasifikasi ini bukan saja oleh Dewan Keamanan tapi juga oleh anggota PBB yang lain. Lalu kenapa AS dan sekutunya masih mendanai dan mendukung perjuangan kelompok ini, tanpa memperhitungkan kerusakan yang akan ditimbulkan. Saat ini banyak media yang menyalahkan pemerintah Syria atas ratusan ribu korban yang jatuh, tapi sesungguhnya apabila dari dulu kelompok-kelompok pemberontak ini tidak diperkuat maka kondisi Syria tidak akan separah ini.
- Saat ini ada tiga opsi rute pengembangan pipa gas trans-kontinental, yang akan menghubungkan pemasok di benua Asia ke konsumen di Eropa [8] [9]. Opsi pertama adalah pipa dari Rusia ke Eropa. Rusia sangat kaya dengan minyak dan gas, sayangnya saat ini tidak mungkin diadakan hubungan dagang karena dikenakannya sanksi ekonomi terhadap Rusia pasca keterlibatan mereka di Ukraina. Opsi kedua adalah mengembangkan pipa dari Iran, melewati Irak, dan Syria menuju laut Mediterania via Turki. Gas dari ladang gas Shah Deniz di Azerbaijan (Laut Kaspia) adalah produsen terbesar andaikan pipa ini diaktifkan. Rusia mempunyai pengaruh politik dan ekonomi yang kuat di Azerbaijan. Opsi kedua ini disukai oleh Iran dan Rusia. Iran karena, ada akses langsung dan Rusia by proxy karena Azerbaijan. Opsi ketiga adalah yang diinginkan oleh AS dan sekutunya, yaitu koneksi pipa dari Arab Saudi dan negara teluk lainnya melalui Irak dan Syria. Dua opsi terakhir, keduanya melibatkan Syria. Dan sebagian besar pembaca mungkin sudah tahu bahwa Syria di bawah Bashar memiliki hubungan yang lebih baik dengan Iran dan tentu cenderung memilih opsi ke-dua. Untuk merubah kedekatan itu, tidak ada cara lain selain penggulingan rezim, sama seperti yang telah dilakukan AS dan sekutunya di masa-masa lampau yang diuraikan di awal tulisan ini.
- Sayangnya, saat ini yang memiliki visi yang jelas atas masa depan Syria justru Iran dan Rusia. Mereka mendukung rezim Bashar sebagai pemerintahan terpilih yang sah. Untuk saat ini, fokus diberikan pada pemberantasan gerakan pemberontak, lalu dilanjutkan dengan stabilisasi, restorasi dan akhirnya (mungkin) demokrasi. Tapi di lain pihak; AS, Saudi dan sekutu yang lain, seperti kebingungan. Mereka ingin Bashar jatuh, tapi juga tidak ingin ISIS yang mengambil kendali. Seandainya gerakan Islamic rebels yang disponsori AS ini menang, lalu siapa yang akan dipasang sebagai pemimpin; apa yang akan dia lakukan untuk melawan ISIS, tanpa dukungan dari Iran. Belum ada “Sadam”, “Shah Reza” atau aktor intelek lain yang bisa mereka pasang sebagai boneka di Syria untuk meneruskan agenda mereka. Inilah yang membuat kondisi menjadi rumit bagi AS dan sekutunya. Adanya 3 pihak ini membuat situasi tidak jelas, saat si A dibom, B dan C berselebrasi. Saat B dibom, giliran A dan C berselebrasi. Tidak ada ujungnya. Lupakan upaya rekonsiliasi dengan ISIS karena musyawarah mufakat tentu bukan salah satu metodologi resolusi konflik mereka.
Penutup
AS akan melakukan apapun, menggunakan argumen apapun untuk menjustifikasi kepentingan mereka di Timur Tengah dan entah kenapa, semakin saya membaca selalu saja ada keterkaitan dengan minyak dan gas. Kondisi yang ada saat ini mirip dengan apa yang terjadi di 1979 dari segi kompleksitas – meskipun skenario besarnya berubah. Bila pada 1979 Iran mengalami revolusi dan lepas dari persekutuan dengan AS, diikuti penguatan hubungan AS dengan Arab Saudi; kalau sekarang justru yang terjadi sebaliknya. Dengan dibukanya dialog AS dan Iran tentang program nuklir mereka, terlihat tanda-tanda akan diangkatnya sanksi ekonomi terhadap Iran setelah lebih dari 30 tahun. Hal ini membuat sekutu AS di Timur Tengah seperti cacing kepanasan. Kalau sanksi atas Iran dibuka, maka minyak dari Iran akan ramai pembeli, aset-aset Iran yang saat ini beku di luar negeri bisa cair kembali, institusi finansial dunia akan membuka pintunya untuk Tehran dan mereka bisa membangun di segala bidang. Anda perlu tahu bahwa Iran ini meskipun berpuluh tahun berada di bawah sanksi ekonomi; ia bukan negara yang terpuruk apalagi bodoh. Mereka punya kereta bawah tanah, bisa membuat mobil, truk mereka sendiri di bawah bendera perusahaan mereka sendiri dan mereka sudah bertahun-tahun mencapai swasembada energi (energy-independent) bahkan tanpa harus menjual kapasitas minyak mereka full-blast. Mereka mengelola program nuklir yang digunakan untuk pembangkitan energi. Kalau kita tengok tetangga-tetangga Iran, bisakah negara-negara Arab melakukan hal yang sama? Sampai sekarang mereka masih bergantung impor, tidak mempunyai industri manufacturing. Bagi negara-negara lain di Timur Tengah, tentu ini tidak bisa dibiarkan. Selain karena Iran itu Syiah dan wajib dimusuhi; tentu ada juga alasan yang lebih rasional, yaitu selama ini negara-negara di Timur Tengah khususnya Arab Saudi, Kuwait dan negara teluk yang lain sudah begitu menikmati dominasi mereka dan berbagai akses kemudahan kendali wilayah karena kedekatan mereka dengan AS.
Adanya konflik Syria (dan mungkin konflik-konflik lain di kemudian hari), setidaknya akan menunda diangkatnya sanksi ekonomi Iran, menunda pelemahan Arab Saudi dan negara teluk lainnya. Meskipun itu berarti ratusan ribu korban jatuh karena perang, jutaan warga kehilangan tempat tinggal dan terlunta-lunta dari satu negara ke yang lain mencari suaka.
Di Indonesia, seperti halnya di negara lain berbagai berita senang memperuncing konflik ini dengan mengambil kacamata Sunni VS Syiah. Betul, Bashar adalah penganut Syiah dan sesungguhnya 74% dari warga Syria adalah Sunni; ada ketidakadilan di sana. Tapi bukankah ketidakadilan itu kita jumpai sehari-hari. Prinsip Pareto (the law of the vital few) menyebutkan bahwa hanya 20% dari populasi mengendalikan hajat hidup 80% sisa populasi lainnya. 80% kekayaan di sebuah negara hanya dimiliki 20% dari penduduk. 80% dari total penjualan Anda hanya bersumber dari 20% dari total klien Anda, dan seterusnya. Fenomena ini nyaris alami. Pun begitu, apakah kita harus sampai perang untuk merubah itu? Pergerakan uang di dunia ini, yang bisa menggerakkan militer, merubah batas negara; tentu jauh dari kendali saya dan Anda sekalian. Tapi ini juga bukan berarti kita tidak berguna.
“A network of awareness, leads to a network of resistance, a network of resilience”
“Sebuah jaringan manusia yang tanggap situasi, akan membangun jaringan yang tidak mudah disetir, jaringan yang tangguh”
Bila kita bisa mensadarkan atau membiasakan manusia Indonesia untuk berpikir kritis dan bersabar dalam mencari ilmu, membuka pikiran atas berbagai sudut pandang; maka tidak akan mudah kita disetir ke sana-sini, dibuai oleh tema ideologis, tema apapun yang kesannya penting padahal sebenarnya tanpa sepengetahuan kita, sebenarnya kita sedang dimanfaatkan oleh kepentingan kelompok 20% tadi.
Disclaimer: Karena ini topik yang sarat dengan religious fandom, perlu saya tegaskan saya bukan simpatisan Iran, Arab Saudi ataupun AS. Saya tidak suka perang. Saya juga tidak serta merta percaya dengan berbagai kampanye “The War On ….” yang banyak digelorakan berbagai pihak – baik “The War on Terror” apalagi “The War on Islam”. Saya cenderung percaya bahwa dibalik lantangnya perang ideologi, selalu ada manfaat tangible yang mendorong setiap kebijakan politik/ perang dari masing-masing negara. Karena saya bekerja di sektor migas, kemampuan analisa saya terbatas dan tentu ada bias migas di dalamnya.
Sumber dan bacaan lanjutan:
- Cuplikan pidato Brzenzinski di Pakistan – Youtube menit 8:56
- Exploring Iran & Saudi Arabia’s Interest in Afghanistan & Pakistan – Research Paper by CIDOB
- Wawancara dengan Brzenzinski – Counterpunch
- Hubungan AS dan Iran – Strauss Center
- Dinar ISIS – mata uang baru – Dailymail.co.uk
- Ladang Minyak yang dikuasai ISIS – Business Insider
- Wawancara dengan milisi ISIS di Lebanon – RT
- Cina membeli lebih dari 50% minyak dari Irak – New York Times
- Rencana pembangunan pipa gas dari Asia/ Timur Tengah ke Eropa – Global Research
- Kekayaan alam Afghanistan – Global Research
- Wawancara dengan Putin -CBS
- Wawancara dengan Assad – BBC
- Dampak Serangan Rusia terhadap Minyak
semoga cepat terselesaikan konflik disana