Cerita tentang Azka dan Bluto, si “School Bully”
Azka berumur 7 tahun. Berangkat sekolah dia selalu bersemangat. Pulang sekolah juga dia tampak baik-baik saja. Bermain dengan adiknya, membaca buku, tidak ada yang aneh atau janggal. Tidak nampak tanda-tanda dia di-bully di sekolah. Setiap malam, kami selalu menemani di kamar mereka sebelum tidur. Tidak sampai terlelap, sekedar ngobrol dan membuat mereka nyaman sebelum tidur. Kadang dengan dongeng atau sekedar bercanda. Sambil tiduran berhadap-hadapan dengan Azka; saling bertukar cerita. Kadang dia gantian bertanya “How was your day, Dad? Was your boss good to you?” Hahaha. Terus terang, kadang saya merasa waktu 5-10 menit tersebut adalah momen terindah dalam rutinitas saya sehari-hari.
Suatu malam saya bertanya kepada Azka, apakah dia di-bully di sekolah. Dia jawab tidak. Semua temannya baik. Saya bertanya siapa teman yang paling dia sukai di kelas. Dia menyebut beberapa nama dan juga alasan kenapa Azka menyukai mereka. Kemudian saya bertanya, siapa teman yang paling tidak dia sukai di kelas. Lalu dia menyebut satu nama, sebutlah namanya Bluto, karakter antagonis dalam Popeye. Tidak ada yang lain, hanya satu nama. Saat ditanya kenapa, Azka menjawab karena si teman satu ini suka mengganggu orang lain.
Malam itu saya tidak bertanya terlalu banyak, supaya dia tidak merasa terbebani. Beberapa hari selanjutnya, setiap malam saya coba mencari tau lebih banyak tentang si Bluto ini; dan saya sampai pada satu kesimpulan bahwa ternyata hampir setiap hari Azka ini di-bully oleh Bluto. Tidak secara fisik, namun secara mental. Beberapa contohnya sebagai berikut:
- Setiap bermain di waktu istirahat, Bluto yang menentukan permainannya. Dia tidak bisa menerima kekalahan, tapi bila Azka kalah; dia diejek dan dipermalukan di depan teman-temannya. Kadang sampai dia menangis, tapi justru itu lebih membuatnya diejek oleh Bluto.
- Setiap Azka berusaha bermain dengan anak lain, Bluto akan selalu mengikuti dan melempar komentar-komentar sinis seperti “You’re a loser, you don’t want to play with me because you’re a loser. Loser, loser!”. Akhirnya anak-anak lain pun jadi ikut enggan bermain dengan Azka.
- Saat ada siswa baru, Azka berusaha berteman dengannya. Namun lagi-lagi kandas karena setiap mereka bermain berdua, Bluto ini datang dan membubarkannya. Entah dengan cara mengejek Azka, atau dia akan berpihak dengan si anak baru untuk menjelekkan Azka
- Di jam makan siang, Azka terkadang harus memberikan makanannya kepada Bluto. Ditukar dengan makanan Bluto yang tidak dia sukai, dan memaksa Azka untuk memakannya. Bila Azka mau, dia dipuji-puji dan bila tidak mau dia akan diolok-olok dan diancam dengan berbagai ancaman. Playground politics :)
- Akhirnya Azka terisolasi, dia terpaksa bermain sendiri atau bermain dengan Bluto tapi hari demi hari dihujani ejekan.
Ah namanya juga anak-anak, cuman diejek inih….
Ya mudah bagi kita, orang dewasa untuk berkata demikian. Anak-anak yang kita hujani kasih sayang di rumah sehari-hari, kadang tidak tahu harus bagaimana kalau dia dihina atau dipermalukan di depan teman-temannya.
Kejadian ini berlangsung berbulan-bulan. Saya tidak mengintervensi. Terus terang menurut saya, pengalaman di-bully (selama tidak keterlaluan) akan memperkaya pertumbuhan anak.
Saya ingin berbagi dengan pembaca sekalian. Di sekolah Azka ada sebuah peraturan, yang dikenal dengan TWIST. TWIST ini menurut saya sangat baik untuk mendidik anak menghadapi konflik (conflict resolution). It is a beautiful thing. Aturan TWIST harus dipegang oleh setiap siswa, setiap kali dia diganggu oleh temannya. TWIST adalah singkatan dari:
- When somebody bothers you, Tell them to STOP – bila ada yang mengganggumu, minta mereka untuk berhenti
- If they still bother you, Walk Away – bila mereka masih mengganggu, menjauhlah
- If they still bother you, Ignore their behavior – bila mereka masih mengganggu, abaikan tingkah mereka
- If they continue to bother you, Seek help from an adult (teachers or parents) – bila mereka terus mengganggu, minta bantuan orang dewasa (guru)
- If they still won’t stop, Tell the principal – bila mereka tidak berhenti juga, laporkan kepada kepala sekolah
TWIST mengajarkan pada anak untuk menghadapi konflik yang dia temui sehari-hari, sebelum mengadu kepada guru. Bila seorang anak langsung mengadu ke guru (S), tanpa melalui T-W-I, maka dia akan diabaikan. Dalam beberapa pertemuan dengan guru, saya sempat menanyakan apakah Azka pernah diganggu oleh temannya, gurunya berkata tidak. Ini berarti Azka tidak pernah sampai ke tahap S. Menurut Azka dia selalu meminta Bluto untuk berhenti, tapi dia diancam untuk tidak melaporkan ke guru. Kalau lapor dia akan disebut chicken dan berbagai ejekan lain. Tambah jatuh lagi mental Azka. Ini salah satu alasan kenapa berbulan-bulan kejadian ini terus berlangsung; Azka tidak pernah mengadu ke guru ataupun saya.
Lalu bagaimana kami sebagai orangtua menghentikan ini? Saya selalu bilang kepada Azka bahwa apabila Bluto melakukan kekerasan fisik ataupun mental (dengan ucapan-ucapan buruk), dia harus lapor kepada saya. Suatu hari saya titip pesan ke Azka, untuk disampaikan kepada Bluto. Saya minta Bluto untuk berhenti dan bermain yang baik. Pesan tersebut disampaikan Azka kepadanya. Tahu apa tanggapan Bluto? Dia bilang “I don’t care about your Dad!” Hahahah. Nyolot! :D
Terus terang ada kalanya saya tergoda untuk protes ke guru, atau langsung menelpon orangtua si Bluto. Tapi saya menahan diri karena saya tidak tahu bagaimana latar belakang keluarga Bluto. Yang saya takutkan, Ayahnya akan memarahinya dan itu bisa justru berdampak negatif, menimbulkan beban kepada Bluto dan juga lebih buruk lagi bila sampai dia dendam kepada Azka. Intervensi semacam ini tidak bisa langsung menyelesaikan masalah. Bicara dengan guru juga saya urungkan, karena saya tidak ingin guru nanti intervensi dan dampaknya akan sama, si Bluto semakin akan merasa terintimidasi.
Akhirnya saya dan Arida menemukan ide. Azka kami tanya, siapa teman yang dia suka dan ingin dia ajak bermain saat istirahat. Azka menjawab Zawad, seorang murid baru. Berhubung waktu istirahat didominasi Bluto dan mereka tidak bisa bermain bersama, Arida janjian dengan ibunya Zawad untuk bermain ke rumahnya sepulang sekolah. Mereka benar-benar menikmati masa bermain ini. Setelah tiga kali bermain bersama di rumah, mulai muncul ikatan yang kuat diantara keduanya. Di sekolah, mereka lebih berani bermain bersama. Saat Bluto datang untuk mengacau, mereka tidak bergeming. Saat Bluto menjelekkan Azka, Zawad membelanya. Demikian juga sebaliknya, saat Zawad ditekan dan dijelekkan – Azka juga akan membantunya. Lama-kelamaan, cerita-cerita Azka tentang si Bluto pun mulai berkurang. Lebih banyak cerita tentang Zawad. Dan menariknya lagi, ada beberapa orang lagi yang masuk dalam lingkaran permainan Azka.
Oya, untuk menghadapi masalah pada jam makan siang, kami mulai menyisipkan notes post-it di kotak makan siangnya. Selain untuk menyemangati Azka untuk menghabiskan makanan, ini juga memberikan rasa “kehadiran” orangtua pada jam makan siang. “Enjoy your lunch. Finish it clean. Have a great day, Azka”. Bagi pembaca yang mengalami kendala bekal siang tidak pernah dihabiskan atau makanan diambil temannya, bisa mencoba trik ini. Notesnya di buat menarik dengan gambar-gambar yang mereka suka.
Adakah para orangtua lain punya pengalaman yang serupa tentang bullying? Kiranya berkenan berbagi :)