Pinjaman dari Cina: What’s the Problem?

Apapun status kita, sebagai single, married, berkeluarga, bermasyarakat sampai bernegara, kita selalu dihadapkan pada pertanyaan ekonomi mendasar: Bagaimana kita mengelola sumberdaya  kita (yang terbatas) untuk memenuhi keinginan kita (yang tak terbatas)?

Seperti kita ketahui bersama, pemerintah Indonesia sudah lama menerapkan kebijakan defisit anggaran. Ini berarti pengeluaran kita lebih besar dari pemasukan kita. Jepang, Korea yang jauh lebih kecil sumberdaya alamnya, bisa berkembang begitu pesat juga sebagian karena mereka menerapkan strategi yang sama. Lalu dari mana mendapatkan tambahan uang untuk membangun?

Jawabnya dari investasi dan utang, baik dari dalam maupun luar negeri. Apa perbedaan antara investasi dan utang? Pada kesempatan ini saya ingin memberikan sedikit penjelasan tentang perbedaan Foreign Direct Investment (FDI – Investasi Langsung Asing) dan Foreign Loans (Pinjaman Luar Negeri). Saya juga ingin mengupas kenapa banyak negara (termasuk Indonesia) lebih memilih bekerjasama dengan Cina dibanding negara atau lembaga moneter internasional lainnya. Apakah kontribusi terbesar Cina kepada Indonesia dalam bentuk FDI atau pinjaman?

Foreign Direct Investment (FDI)

FDI terjadi saat sebuah perusahaan asing menanamkan modalnya di Indonesia dengan cara antara lain: membuka cabang atau perwakilan, melakukan merger atau akuisisi terhadap perusahaan lokal, atau melakukan joint venture dengan perusahaan lokal. Perusahaan asing bisa berupa perusahaan swasta ataupun milik pemerintah asing. Ada beberapa alasan kenapa perusahaan asing melakukan FDI, antara lain:

  • Mendekatkan diri kepada pasar. Indonesia mempunyai potensi pasar yang besar. Dengan membuka cabang di Indonesia, maka perusahaan bisa lebih dekat ke pasar – memotong biaya distribusi (termasuk ekspor/impor). Mereka juga bisa lebih berinteraksi dengan pelanggannya dan ini mempermudah strategi pemasaran.
  • Mendekatkan diri pada bahan baku. Banyak perusahaan manufaktur yang menggunakan bahan baku dari Indonesia. Membuka cabang di sini tentu akan mempercepat waktu pengiriman bahan baku dan juga memperkecil biaya transportasi.
  • Biaya pegawai yang lebih rendah.
  • Berbagai insentif pajak bagi perusahaan yang menanamkan modalnya di Indonesia.

Yang perlu dipahami adalah tentu alasan di atas tidak berdiri sendiri-sendiri, biasanya perusahaan memiliki kombinasi dari beberapa alasan di atas sebelum memutuskan untuk melakukan FDI. Biaya pegawai yang lebih rendah saja tidak cukup untuk menarik investasi tanpa ada faktor lain. Contohnya misalnya gaji pegawai di Tsuriname atau di Timor Leste mungkin lebih murah disbandingkan Indonesia, tapi tidak lantas perusahaan berbondong-bondong untuk investasi di sana. Harus dilihat juga misalnya, produktivitas pegawai yang dipengaruhi kebijakan jam kerja/ lembur, tingkat keahlian SDM sampai ke ada tidaknya serikat pekerja dan sebagainya. Selama gaji rendah tidak dibarengi produktivitas yang baik dan stabilitas kondisi kerja, maka rendahnya gaji tersebut tetap kurang menarik.

Selain keempat alasan yang disebut di atas, sebenarnya ada satu alasan lagi yang juga sangat mempengaruhi yaitu kebijakan pemerintah dalam hal penanaman modal. Kalau birokrasinya rumit dan pemerintah tidak memberikan lingkungan yang kondusif maka perusahaan asing juga akan enggan berinvestasi.

Di Indonesia, FDI dikelola oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). BKPM merekam dan memetakan berbagai investasi yang masuk, ke berbagai industri dan di berbagai provinsi di seluruh Indonesia. Pada akhir kwartal I 2015, tercatat investasi asing sebesar 6,5 Milyar USD. Siapa yang di tahun 2015 ini paling banyak berinvestasi di Indonesia?

18,8% dari Singapore
18,4% dari Jepang
9,7% dari Korea Selatan
5,4% dari Inggris
4,5% dari Amerika Serikat
43,2% dari gabungan berbagai negara lainnya

Bagaimana dengan Cina? Proporsi investasi FDI Cina pada periode yang sama sebesar 7,5 Juta USD atau ekuivalen dengan 0.11% dari total FDI. Melihat data dari tahun 2010 sampai sekarang, tidak pernah Cina melakukan FDI di atas 4% dari total FDI yang masuk ke Indonesia.

Ada satu hal yang perlu digarisbawahi di sini. FDI berarti perusahaan asing mempunyai pengaruh yang besar terhadap jalannya kantor perwakilan mereka di Indonesia. Bisnis dari hari ke hari, bulan ke bulan, jumlah orang yang harus direkrut, dipecat dalam sebuah perusahaan, bisa dipengaruhi oleh “kantor pusat” perusahaan tersebut di luar negeri. Namun demikian, pengaruh perusahan terhadap kebijakan pemerintah bisa dibilang kecil. Kalaupun ada perusahaan yang memiliki lobbyist atau pengaruh yang besar di pemerintah, perusahaan-perusahaan ini tetap memiliki risiko-risiko seperti nasionalisasi (seperti di Argentina, Venezuela) dimana pemerintah mengambil hak milik aset-aset perusahaan. Ada juga risiko perubahan kebijakan, seperti yang tempo hari terjadi di Indonesia terkait dengan larangan ekspor mineral mentah. Saat peraturan sudah diundangkan, maka tidak ada yang bisa dilakukan oleh perusahaan asing yang melakukan FDI.

 

Pinjaman Luar Negeri

Perbedaan besar antara pinjaman dengan FDI adalah kreditor (pemberi pinjaman) tidak peduli dengan operasi day-to-day perusahaan ataupun profitabilitas proyek/ perusahaan di Indonesia. Kreditor hanya ingin cicilan utangnya dibayar tepat waktu, saat jatuh tempo. Eksekusi proyek diserahkan penuh kepada pemerintah di negara peminjam. Seperti halnya bisnis kecil yang bila butuh uang akan meminjam ke bank; pemerintah juga demikian. Pinjaman harus dilakukan dari lembaga keuangan. Dalam konteks pembangunan nasional, pinjaman-pinjaman luar negeri ini dikoordinasi oleh Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Kementerian PPN/ BAPPENAS).

Berdasarkan sumber dana, berbagai pinjaman ini dapat dikelompokkan menjadi:

  • Pinjaman dari Kreditor Multilateral (ADB, World Bank, IDB, Saudi Fund)
  • Pinjaman dari Kreditor Bilateral (dari negara tertentu, Jepang, Cina, Australia, dsb)

Sebelum kita bahas lebih detail pinjaman-pinjaman tersebut, mari kita tengok sejenak bagaimana cara kerja dana pinjaman ini.

Setelah mempunyai program kerja dan tahu kebutuhan biaya, pemerintah Indonesia akan mencari pinjaman dari berbagai instansi di atas, baik dari lembaga moneter ataupun dari bank di satu negara tertentu. Setelah tercapai kesepakatan, maka akan ditandatangani perjanjian. Berdasarkan komitmen ini, lembaga-lembaga tadi akan menyiapkan dananya pada waktu yang telah ditentukan. Sementara itu pemerintah, dibawah koordinasi BAPPENAS akan memonitor masing-masing instansi (Kementerian dan lembaga terkait lainnya) sebagai eksekutor proyek. Setiap dana pinjaman, telah dikaitkan dengan proyek tertentu dan akan dieksekusi oleh lembaga pemerintah yang telah ditetapkan, termasuk BUMN (Pertamina, PLN, dsb), Polri, TNI.

Pencairan dilakukan secara bertahap, sesuai perkembangan proyek. Apabila pada waktu yang ditetapkan, pencairan dana tidak dilakukan maka pemerintah harus menanggung biaya/ denda commitment fee. Ini karena lembaga asing telah mencadangkan dana tersebut, tapi pemerintah Indonesia tidak jadi menyerap/ merealisasikan. Untuk itulah harus ada kompensasi yang diberikan.

Pada kwartal IV 2014, Cina telah membiayai 5 proyek di Indonesia senilai 532 Juta USD. Eksekutor proyek-proyek tersebut adalah Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (4 proyek) dan juga PT. PLN (1 proyek). Dari besarnya dana yang akan dipinjam tersebut, telah terserap sebesar 85%. Proyek yang dikerjakan oleh PU/Pera adalah Bendungan Jatigede, Konstruksi Jembatan Tayan, Pembuatan Jalan Tol Cileunyi – Dawuan dan Pembuatan Jalan Tol Medan – Kualanamu. Sementara untuk PT. PLN digunakan untuk membangun Pembangkit Listrik Tenaga Batu Bara di Parit Baru [4].

Pada 2014, urutan kreditor terbesar adalah [4]:

  1. Jepang, 41 proyek, 4.539 Juta USD
  2. Cina, 5 proyek, 532 Juta USD
  3. Korea Selatan, 7 proyek, 345 Juta USD
  4. Perancis, 4 proyek, 248 Juta USD
  5. Australia, 1 proyek, 246 Juta USD

Dari segi penyerapan, pemegang proyek terbesar adalah Kemenhan, diikuti oleh Kemen-PU/Pera, Kemenhub dan Kemendikbud.

Dengan demikian, meskipun Cina tidak melakukan banyak FDI, tapi mereka memberikan dana pinjaman yang cukup besar. Lalu apakah mereka berlaku demikian hanya kepada Indonesia? Tentu tidak. Di benua Afrika, besarnya pinjaman dari bank-bank Cina sudah melebihi pinjaman dari lembaga moneter internasional (IMF, WB, dsb.) [1]. Demikian juga di Amerika Latin, bank-bank Cina lebih diminati daripada lembaga internasional lainnya.

Mengapa Pinjaman dari Cina Begitu Menarik?

Perjalanan Cina dalam melakukan bisnis “jualan uang” ini sudah lama. Sebelum 1994, Cina memiliki 4 bank besar yang melakukan fungsi ini, yaitu Bank of China, China Construction Bank, Agricultural Bank dan ICBC. Keempat bank ini selain menjalankan fungsi “policy bank” (bank yang ikut membantu kebijakan pemerintah), mereka pada saat bersamaan juga merupakan bank komersial. Oleh karena itu, pengelolaan dana dan juga arah strateginya tidak optimal karena tentunya masing-masing fungsi tersebut membutuhkan fokus.

Pada 1994, pemerintah Cina membentuk dua bank baru yang khusus ditugaskan sebagai “policy bank”, yaitu China Development Bank (CDB) dan China Ex-Im. Kedua bank ini akan mendukung kebijakan pemerintah terkait dengan sektor-sektor kunci. Lalu kenapa kedua bank ini mampu menarik berbagai negara, sampai berpaling dari lembaga internasional lain? [2]

  • Bunga yang rendah. Kredit yang ditawarkan oleh Cina lebih murah dibandingkan dengan lembaga lain.
  • Syarat-syarat persetujuan kreditnya pun lebih mudah. Itulah kenapa negara-negara seperti Argentina, Venezuela tetap bisa dengan mudah meminjam dari Cina, sementara mereka akan kesulitan jika harus meminjam dari lembaga lain, baik karena kondisi ekonomi maupun politik domestik/ internasional
  • Tidak ada tumpang tindih yang terlalu besar antara target proyek dari kredit lembaga internasional dengan bank-bank Cina. Bank-bank ini memfokuskan (sesuai arahan pemerintah Cina) pada proyek di bidang pengolahan sumberdaya alam dan infrastruktur. Sementara kredit dari lembaga lain lebih luas lingkupnya, dari pertahanan sampai ke pendidikan.
  • Salah satu perbedaan yang mencolok adalah pinjaman dari Cina tidak mensyaratkan “policy conditions”. Bila sebuah negara pinjam dalam jumlah besar dari IMF atau WB, mereka akan didikte dalam pembuatan undang-undang dan peraturan pemerintah yang lain. Kadang kebijakan ini tidak sesuai dengan apa yang diinginkan atau dibutuhkan oleh rakyat, tapi pemerintah tidak berkutik karena ini merupakan syarat cairnya pinjaman. Contohnya kalau di Indonesia, misalnya liberalisasi sektor hilir migas. Dulu Pertamina memonopoli penjualan bensin, namun sekarang kita lihat banyak penyedia lain seperti Total, Shell dan Petronas yang ikut berkompetisi. Tentu bagi konsumen ada manfaat dari adanya kompetisi, namun ini adalah ilustrasi bagaimana lembaga internasional dapat mempengaruhi kebijakan.

Pinjaman dari Cina tidak mensyaratkan demikian. Indonesia tetap bebas menentukan arah kebijakan di sektor yang menjadi sasaran pinjaman. Tapi Cina terkadang mensyaratkan adanya pembayaran dengan barrel minyak, atau juga pinjaman tersebut dalam bentuk barang/ jasa dan bukan uang cash. Misalnya jika Indonesia ingin membuat pembangkit, maka pinjaman yang diberikan adalah dalam bentuk barang jadi/ perlengkapan proyek yang diproduksi di Cina. Terkadang juga pinjaman dalam bentuk tim ahli atau staf konstruksi dalam masa tertentu. Inilah yang kadang menjadi persoalan karena kualitas produk mereka sebagian belum sesuai yang diharapkan.

Kenapa Cina melakukan mekanisme seperti itu? Ya karena ini akan secara langsung menggerakkan ekonomi mereka di dalam negeri. Pemerintah Cina memberikan kesempatan bagi perusahaan-perusahaan mereka untuk unjuk gigi, selalu memperbaiki diri untuk menciptakan produk atau jasa terbaik. Terciptalah multiplier effect.

Saya mengalami juga di salah satu proyek pengeboran di Myanmar, saat operatornya adalah perusahaan Cina. Mereka benar-benar merangkul dan mengajak sebanyak mungkin perusahaan rekanan mereka untuk berpartisipasi. Untuk mata bor (drill bit) misalnya, sebenarnya perusahaan kami juga bisa menyediakan dan kami ada kontrak untuk itu, tapi klien kami ini meminta untuk melakukan sub-kontrak kepada perusahaan Cina untuk menggunakan mata bor buatan Cina. Kami sudah mewanti-wanti bahwa kualitas produknya jauh lebih rendah, tapi mereka tidak peduli. Mereka bilang bahwa untuk menciptakan produk yang bagus, perusahaan Cina perlu membangun pengalaman (portfolio), dan sebagai sesama perusahaan dari Cina; mereka ingin memberikan kesempatan kepada perusahaan mata bor tadi. Akhirnya mereka berhasil menggunakan 5 mata bor, dengan harga yang sangat miring dibanding produk kami. Kualitas sedikit dibawah, tapi tidak terlalu buruk juga (just good enough). Hal yang sama terjadi untuk jasa lain seperti cementing, mereka juga minta untuk di sub-con ke perusahaan Cina. Luar biasa.

Kembali ke pinjaman, bisa dipahami kenapa banyak negara lebih merapat ke Cina. Selain syarat yang mudah, bunga yang rendah, tapi juga policy requirement nya tidak ada. OK lah, ada beberapa hal yang harus diterima oleh debitur, seperti barang dan tenaga ahli dari Cina, tapi sebagian besar debitur (di berbagai negara) ternyata tidak keberatan dengan hal ini. Oleh karena itulah pada saat Cina mengumumkan untuk membuat Asian Infrastructure Development Bank, banyak sekali negara yang berminat bergabung. Inggris, bersama dengan 26 negara lain sudah menyatakan diri untuk bergabung.

Indonesia sudah mengalami “policy pushing” sejak tahun 1999 saat kita berusaha bangkit dari krisis moneter. Begitu juga di Yunani, mereka juga sudah bertahun-tahun terjerat utang IMF atau lembaga moneter Uni Eropa, dimana kebijakan pemerintah diintervensi sedemikian rupa, menyebabkan ketidakpuasan rakyat di berbagai bidang dari lambatnya pertumbuhan ekonomi sampai ke tingginya angka pengangguran. Hadirnya pinjaman dari Cina adalah alternatif bagi mereka yang tidak ingin menerima syarat-syarat kebijakan yang ditetapkan lembaga lain.

 

-Sumber

1. China Exim loans to Africa
2. Inter-American Dialog: Chinese Finance in Latin America
3. Trading Economics
4. Bappenas: Laporan Kinerja Pelaksanaan Pinjaman/ Hibah Luar Negeri 2014
5. Bappenas: Update Perkembangan Ekonomi Minggu IV Juni 2015
6. BKPM: Realisasi Domestic and Foreign Direct Investment (DDI/FDI) Jan-Mar 2015
7. BKPM: Data dan Statistik lampau

Comments 4

  1. dobelden July 10, 2015
    • arief July 10, 2015
  2. Alta Finance LLC September 29, 2019
  3. Mark May 9, 2020

Leave a Reply

CommentLuv badge