Tentang “Jempol Murahan” dan Echo Chamber
Kita semua pernah melakukannya. Membagikan cerita inspiratif, link berita di facebook, video klip di youtube, dan yang akhir-akhir ini sering sekali saya terima yaitu “copas” (copy-paste) himbauan seputar kesehatan, hasil survey/ penelitian, hingga liputan dan foto musibah via media sosial WhatsApp. Informasi yang dibagikan kadang akurat dan bermanfaat, tapi tidak jarang juga informasi tersebut hokum atau hoax alias bohong belaka.
Informasi di abad 21 ini sudah terlalu murah dan mudah didapat. Informasi dibagikan tanpa batas, tanpa sensor, tanpa saringan. Entah benar atau salah, akurat atau hoax, yang penting berbagi. Tidak sedikit yang menuliskan kalimat pengantar “sekedar share ya guys… gak tau deh bener atau gak nya”. Kalau belum pasti benar, kenapa dibagikan? Apa urgensinya? Orang-orang seperti ini memang spesial.
Kalau boleh meminjam istilah Tukang Loenpia (komunitas blogger Semarang), mereka ini memiliki “jempol murahan”. Sebuah istilah untuk pengguna media sosial yang setiap menerima content yang (menurut dia) menarik atau informasi baru, langsung dia bagikan tanpa verifikasi dulu; tanpa mencari sumber ke-dua, apalagi melihat sisi lain. Saat sudah terbukti hoax pun, sering berkelit dengan dalih “ya… ambil saja hikmahnya”. Hikmah apa yang diambil dari hoax?
Tapi pada kesempatan ini saya tidak akan membahas bagaimana cara kita bisa memilah dan memilih informasi yang tepat, karena sudah cukup banyak tips yang bagus di dunia maya (salah satunya di sini). Saya tertarik untuk melakukan refleksi kenapa seolah-olah ada kebutuhan (atau mungkin kepercayaan diri?) seorang pengguna media sosial untuk segera menyebarkan informasi yang dia terima.
Efek “Unfollow” dan Echo Chamber
Alasan melakukan unfollow akun seseorang bisa jadi karena sesuatu yang sepele seperti kebiasaannya yang terlalu sering memperbarui status (baca: nyampah) hingga memenuhi linimasa kita; sampai alasan yang lebih content-centric, seperti perbedaan pandangan politik, agama atau prinsip fundamental lainnya. Intinya, dengan unfollow saya tidak ingin lagi mendengar pembaruan status, opini atau apapun dari Anda.
Saya rasa kita semua menyadari bahwa algoritma Facebook dikembangkan untuk memahami selera informasi para penggunanya. Tidak heran jika semakin hari, content yang kita lihat di linimasa kita bernuansa seragam. Jarang sekali kita akan melihat di linimasa kita, content yang tidak sesuai dengan selera kita. Interaksi atau engagement dalam bentuk “like”, “comment” pun seringkali datang dari orang-orang yang sama. Ini juga disebabkan karena content yang kita bagikan, sesuai dengan selera informasi orang-orang yang mengkonsumsi dan berinteraksi dengan status kita. Inilah yang disebut dengan “echo chamber” atau kamar gaung.
Dalam kamar gaung ini, semua suara yang kita dengar akan terdengar merdu karena pada hakekatnya suara itu adalah suara kita sendiri. Dalam media sosial, di linimasa kita seringkali opini-opini, status, link, comment atau apapun itu banyak yang kita setujui. Dengan banyaknya komentar dan like yang sesuai dengan pendapat kita, muncullah semacam afirmasi dan kepercayaan diri bahwa opini kita adalah opini yang benar karena banyak sekali yang sependapat.
Efek kamar gaung bisa lebih besar bila dibawa ke ranah WhatsApp, Telegram atau aplikasi group chat yang lain. Tidak sedikit yang berlanjut ke kopi darat (aksi sosial, solidaritas, demonstrasi). Efek kamar gaung bisa digunakan untuk berbagai kepentingan; dan bisa jadi kita hanyalah objek dari narasi yang lebih besar. Bila semua group yang kita ikuti hanya berisi teman dengan pendapat yang homogen; tidak ada oposisi maka gaung yang kita dengar akan semakin nyaring. Kalaupun dalam sebuah group chat sesekali ada oposan dengan pendapat yang berbeda, ia akan mendapatkan perlawanan, bantahan atau bahkan cibiran atas opininya yang tidak “mainstream”. Kalau sudah sampai pada tahap ini, kemungkinannya oposan ini akan memilih diam atau keluar sekalian dari group tersebut. Ia pun pada akhirnya akan kembali mendekat ke ruang gaungnya sendiri.
Menghindari Jebakan Echo Chamber
Untuk mendapatkan pemahaman yang baik dan berimbang, saya berpendapat kita harus banyak membaca dan mendengar berbagai sudut pandang. Tidak hanya di Indonesia, di seluruh dunia banyak orang yang mengandalkan media sosial untuk mendapatkan berita/ pengetahuan, entah dalam bentuk tweet, artikel, hingga video. Padahal seringkali informasi yang muncul di media sosial sudah diseleksi agar sesuai dengan selera kita. Bila kita mau untuk menjelajah sejenak ke beberapa portal berita, berbagai buku, artikel atau hasil penelitian tentang informasi tersebut; perspektif bahkan kesimpulan kita bisa jadi akan berubah total hanya karena kita selama ini tidak terekspos ke berita-berita tersebut secara menyeluruh.
Pada akhirnya saya ingin mengajak kita semua untuk lebih meningkatkan kesadaran (self awareness) saat membaca informasi entah di linimasa ataupun di berbagai media sosial yang kita ikuti. Wajar untuk berkumpul dengan orang-orang yang sependapat, seprinsip dengan kita. Tapi tentu kita harus sadar bahwa selalu ada cara pandang lain atas setiap pendapat kita.
“The greatest opposition will come from within yourself”.
Jadilah oposisi terbesar diri Anda sendiri.
Dalam proses memahami sesuatu, banyaklah bertanya kepada diri sendiri dengan penuh keingintahuan. Karena begitu kita membagikan sebuah content, maka sebenarnya secara langsung kita dianggap telah memvalidasi dan bahkan mendukung informasi tersebut.
Jadi, saat nanti Anda menerima sebuah content di linimasa atau di aplikasi chat; apakah Anda berhenti sejenak untuk mencernanya ataukah Anda memilih untuk tetap berada dalam echo chamber Anda dan membiarkan #jempolmurahan Anda beraksi?
Selamat menyongsong 2018! Semoga kita semua menjadi insan yang lebih baik dan bermartabat.
Bacaan lanjutan bagi yang berminat:
The Echo Chamber Effect
In Praise of the Echo Chamber (The Washington Post)
Why Your Brain Loves Fake News (PBS)
ndak banyak yang sadar bahwa sekarang FB dan IG memilihkan apa yang tampil di feed kita… dan banyak orang yang menikmati echo chamber ini. jadi merasa benar dan banyak pendukung.
ah hiya juga, baru nyadar ada sudut pandang seperti ini. padahal dulu pernah freelancer juga surveyor QC timeline fesbuk, isinya memang didesain untuk sesuai selera kita.
test komentar ganti email