Rohingya: Siapa mereka?
Setelah pemberitaan media beralih fokus ke topik-topik lain dan ledakan empati, emosi sudah sedikit memudar; saya ingin memberikan sedikit perspektif atas pengungsian “Rohingya” yang kemarin marak diberitakan. Tentu tidak perlu diperdebatkan lagi apakah kita sebagai negara harus menampung para pengungsi; langkah penanganan pengungsi pun sudah disepakati berbagai pihak, termasuk pemerintah Myanmar, Bangladesh, negara-negara ASEAN penampung pengungsi dan UNHCR.
Saya tinggal di Yangon sudah hampir dua tahun. Tulisan ini saya sadur dari berbagai sumber dari lembaga internasional [1], opini dari tokoh yang kompeten [2], opini dari masyarakat [*] di sekitar tempat saya bekerja dan pengalaman pribadi.
Sebelum Inggris menguasai Myanmar, wilayah/propinsi (state) yang saat ini disebut “Rakhine”, terdiri atas 2 bagian. Sebagian dibawah wilayah Bengal dan sebagian lagi dibawah kerajaan Arakan. Penting untuk sedikit memahami apa yang terjadi sebelumnya di wilayah Rakhine, baik di utara (dekat dengan Bangladesh) dan selatan (dekat dengan Burma/Myanmar). Bengal sejak 1947 berada dalam wilayah Pakistan, namun masyarakat Bengal merasa didiskriminasi oleh Pakistan, salah satunya karena bahasa; karena meskipun mereka adalah mayoritas di wilayah tersebut, bahasa resmi yang digunakan pemerintah adalah bahasa Urdu dan bukan Bengali. Banyak gerakan separatis masyarakat Bengal dan akhirnya pada tahun 1971 Bengal merdeka dari Pakistan dan menjadi negara Bangladesh. Dalam proses menuju kemerdekaan Bangladesh, tentunya banyak rakyat sipil yang mengungsi, lari dari perang. Sebagian lari menuju ke Selatan, masuk ke wilayah (bekas) kerajaan Arakan, yang saat itu sudah berada di bawah Burma. Pengungsi ini kemudian ditampung sementara, namun sebagian besar dikembalikan lagi ke Bangladesh karena tidak diakui sebagai warga Myanmar.
Di selatan, bagian Burma, saat terjadi pembasmian gerakan separatis Muslim di Rakhine di tahun 1950; banyak juga penduduk yang berusaha lari dan bermigrasi ke Bengal (Pakistan). Nasib mereka sama, sesampainya di Bengal, mereka ditampung sementara dan akhirnya dikembalikan ke Myanmar. Tentu ada sebagian yang lolos sebagai imigran ilegal di kedua negara dan akhirnya bisa hidup turun temurun di negara baru mereka.
Dalam keadaan damaipun, pergerakan penduduk (legal atau ilegal) di wilayah perbatasan ini sudah sangat cair sejak dulu. Dalam keadaan genting (perang), tentu pergerakan penduduk ini lebih sering dan dalam jumlah besar. Ini harus kita pahami (sebagai spektator yang berimbang). Dimana ada masalah imigrasi di perbatasan, maka yang paling bertanggungjawab dan harus duduk bersama adalah kedua negara yang dibelah oleh perbatasan tersebut, dalam hal ini Bangladesh dan Myanmar. Kedua negara ini harus menemukan kesepakatan penanganan pengungsi yang ada saat ini dan meletakkan mekanisme kontrol untuk mencegah pelanggaran imigrasi. Negara-negara lain yang terkena imbasnya, harus melibatkan kedua negara ini dalam mencari solusi.
Pada bulan Mei 2015 yang lalu, Indonesia kedatangan kapal-kapal pengungsi yang mengklaim datang dari Myanmar. Mereka menyebutkan identitas mereka sebagai “Muslim Rohingya”. Secepat bola salju, media dan pengguna media sosial mengerubuti topik ini dari berbagai sudut. Dari segi hak asasi manusia sampai ke konflik Buddha-Muslim yang ada di Myanmar. Saya coba mengupas sedikit dalam bentuk tanya-jawab. Tentu tidak bisa mengupas secara tuntas dalam artikel pendek ini, tapi semoga bisa memicu rasa keingintahuan pembaca untuk menilik lebih dalam; tidak sekedar untuk menang debat atau men-judge, tapi lebih pada kepuasan diri atas pemahaman yang baik dan berimbang.
Dari mana munculnya istilah “Rohingya”? Apa artinya?
Banyak yang sering menggabungkan “Rohingya” (baca: Ro-hin-jya) dengan “Muslim”. Muslim Rohingya, begitu sering diberitakan – dimana Rohingya diidentikkan dengan orang beragama Islam. Ada juga beberapa media yang menyebutnya “Etnis Rohingya”, dimana Rohingya diidentikkan dengan sebuah suku. Lalu yang mana yang paling tepat? Kata Rohingya berasal dari Bahasa Bangladesh (Bengali), kata “Rohang” yang merupakan sebutan lain untuk “Arakan” (kerajaan Arakan). Istilah ini pertama kali didokumentasikan oleh Dr. Francis Buchanan, seorang botanis, geografer, ahli bahasa dan peneliti budaya dan sejarah Bengal. Pada tahun 1795, dia mengunjungi kerajaan Amarapura setelah jatuhnya kerajaan Arakan. Di sana dia bertemu penduduk setempat dan saat ditanya dari mana asalnya, mereka menjawab dari Rohang. Rohingya (orang yang berasal dari Rohang), adalah istilah yang muncul atas latar belakang geografis, bukan suku atau agama. Mereka adalah orang-orang Bengal yang tinggal di wilayah kerajaan Arakan. [1]
Yang menarik, istilah Rohingya ini hanya ada di Rakhine bagian Myanmar. Saat dilakukan penelitian pada orang dari Rakhine bagian Bangladesh, disana tidak dikenal istilah Rohingya.
Apa yang diinginkan Rohingya?
Kerajaan Inggris menguasai daerah Rakhine mulai tahun 1826, setelah perang Anglo-Burmese. Salah satu hal pertama yang dilakukan oleh pemerintah bentukan Inggris yaitu melakukan sensus penduduk untuk mendata jumlah penduduk, suku-suku dan agama yang ada di Burma. Dari beberapa sensus yang dilakukan, tidak ada yang mengidentifikasi diri mereka sebagai suku/ etnis Rohingya. [1] [2]. Orang etnis India (berkulit hitam) di Burma pada masa itu dijuluki Hindus (bila mereka beragama Hindu) dan Mohamedans (kalau mereka Muslim). Mereka yang berasal dari Bengal, disebut Chittagonians atau Bengalis.
Istilah Rohingya mulai muncul setelah berakhirnya Perang Dunia II saat Burma menjadi negara merdeka pada 1948. Bengalis yang tinggal di wilayah Butheetaung dan Maungdaw di Rakhine Utara, mulai mempopulerkan istilah Rohingya. Istilah ini akhirnya naik cetak di sebuah artikel “The Sudeteen Muslims” pada 20 Agustus 1951 di harian Guardian Daily (tapi terus terang saya sudah mencoba mencari-cari naskah aslinya di Internet, belum ketemu). Artikel ini ditulis oleh Mr. Abdul Gaffer, anggota Partai Mujaheed. Sejak itu istilah Rohingya semakin populer dan digunakan sebagai identitas untuk memperjuangkan hak-hak rakyat muslim di parlemen atau pemerintahan. Kelompok ini ingin memperkuat identitas mereka dan ingin menjadikan wilayah Rakhine sebagai wilayah Islam (layaknya Daerah Istimewa Aceh, di Indonesia). Namun sebenarnya, pada mulanya mereka ingin Rakhine Utara ini dianeksasi oleh Bangladesh yang adalah negara Islam. Sayangnya pemerintah Bangladesh tidak mau melakukan aneksasi dan opsi berikutnya bagi pejuang Rohingya adalah mendirikan sebuah Daerah Istimewa. Keinginan ini juga tidak dipenuhi oleh pemerintah Burma dan pada akhirnya kelompok pejuang ini berubah menjadi organisasi pemberontak bersenjata (The Mujaheeds). Mereka menyerukan perlawanan terhadap pemerintah Burma. Gerakan pemberontakan ini berlangsung cukup lama dan akhirnya berhasil ditumpas pada tahun 1961 saat pemimpin pemberontakan menyerahkan diri kepada militer Burma. [1]
Pada tahun 1978 pemerintah Burma melakukan operasi imigran ilegal yang dikenal dengan King Dragon Operation. Tujuannya untuk “membasmi” anggota dan simpatisan gerakan Mujaheedin atau gerakan pemberontakan lainnya. Banyak rakyat muslim yang dipenjara dan dibunuh dalam operasi ini. Banyak juga yang melarikan diri ke perbatasan Bangladesh untuk mencari perlindungan. Sebagian dari mereka ditampung sebagai pengungsi, namun sebagian lagi bergabung dengan berbagai gerakan pemberontakan lainnya. Dengan larinya penduduk muslim ke perbatasan, ini menjadi ladang yang subur untuk melakukan rekrutmen. Ada yang bergabung dengan motivasi balas dendam, untuk mencari perlindungan dan juga untuk berjihad.
Sampai sekarang, gerakan-gerakan separatis ini masih ada.
Namun demikian, tentu penduduk Rohingya yang kita lihat sehari-hari di televisi atau kita baca di berita bukanlah prajurit-prajurit pemberontak. Mereka adalah korban konflik yang berkepanjangan, yang hanya mencari tempat berteduh dan hidup layak. Masalahnya, kedua negara di perbatasan tidak mau mengakui mereka sebagai warganya, karena sejarah yang panjang dan penuh konflik. Saat ini yang mereka inginkan hanya satu, kewarganegaraan berikut dengan hak-hak yang terkandung di dalamnya (kesehatan, pendidikan, lapangan kerja dan hak memilih). [1]
Stigmatisasi istilah “Rohingya” ini yang mempersulit mereka [2]. Pemerintah Myanmar saat ini tidak mengakui Rohingya sebagai suku/etnis asli Myanmar dan mereka dikategorikan sebagai “Bengali”. Andaikan saja konflik ini semudah mengubah nama mereka, sayangnya tidak semudah itu. Istilah “Bengali” ini menyakitkan bagi penduduk Rohingya, mereka tersinggung bila disebut sebagai Bengali. Namun demikian, yang tidak banyak dipahami adalah, istilah “Rohingya” sama menyakitkannya bagi warga Myanmar, khususnya yang tinggal di daerah Rakhine. Istilah ini dikonotasikan dengan pemberontakan yang sudah menelan banyak korban dan merupakan penghinaan bagi suku setempat karena suku Rohingya menurut mereka tidak pernah ada dalam sejarah Myanmar.[*]
Saat ini sudah ada beberapa tokoh Bengali di parlemen Myanmar yang lantang menyerukan hak-hak bagi “migran Bengali” – nama yang mungkin tidak ideal bagi mereka, tapi setidaknya merupakan awal yang baik untuk bisa duduk bersama dan merumuskan jalan ke depan dalam memperjuangkan hak-hak kewarganegaraan [2].
Kenapa pemerintah Myanmar tidak memberikan kewarganegaraan?
Karena dalam Undang-undang kewarganegaraan yang berlaku tidak bisa diberikan begitu saja. Kedaulatan hukum ini yang membuat negara-negara lain harus menghormati keputusan pemerintah Myanmar. UU Kewarganegaraan yang berlaku menerapkan syarat-syarat yang sangat ketat bagi migran yang ingin mendapatkan kewarganegaraan, termasuk di dalamnya membuktikan bahwa generasi N+3 (pasangan kakek buyut) adalah dari keturunan suku asli Myanmar. Saat UU ini diberlakukan pada 1982, cukup jelas bahwa pemerintah saat itu ingin sekali menerapkan persyaratan yang ketat bagi warganya, termasuk untuk “menyingkirkan” migran ilegal yang saat itu tinggal di Myanmar. UU yang sebelumnya diberlakukan pada 1947 jauh lebih ringan dalam memberikan kewarganegaraan. [1][2]
Selama UU Kewarganegaraan 1982 ini masih berlaku, maka penduduk Rohingya yang saat ini tinggal di kampung pengungsi dan tidak memiliki dokumen legal untuk membuktikan garis keturunan mereka, sedikit sekali harapan mereka akan diberikan kewarganegaraan.
Apakah ini diskriminasi terhadap Muslim Myanmar?
Menurut saya tidak sepenuhnya. Meskipun Rohingya adalah penduduk beragama Islam, diskriminasi yang terjadi atas mereka bukan semata-mata karena agama. Untuk menuduh lebih jauh bahwa pemerintah Myanmar mendiskriminasikan Muslim juga berlebihan. Setiap Idul Adha dan Idul Fitri, pemerintah menetapkan hari libur untuk kedua hari tersebut. Ini adalah pengakuan dan penghormatan atas hari besar agama Islam. Di Yangon juga tidak sulit untuk mencari masjid dan warung makan halal, semua berdiri dan ramai pada jam-jamnya. Namun demikian, di wilayah Rakhine ada daerah tertentu dimana gesekan lebih sering terjadi. Tapi menurut saya, ini bukan karena penduduk Buddha membenci Islam atau sebaliknya; namun lebih karena secara historis mereka sudah dipatri sedemikian rupa. Dari diskusi dengan teman di sini, sejujurnya baik penduduk Buddha dan Muslim, mereka sama takutnya jika harus ikut tawuran atau kegiatan lain yang berbau kekerasan.
Banyak media yang melakukan ekspose besar-besaran terhadap Bhikku Ashin Wirathu (U Wirathu), yang memang di Myanmar sendiri dikenal sebagai Bhikku yang kontroversial. Dia menyebarkan ketakutan atas Islam yang menurutnya berusaha mendominasi dunia. Dia dengan bangga mengidentikkan dirinya dan pengikutnya dengan English Defence League, yang merupakan organisasi ekstrim kanan di Inggris yang melawan penyebaran Islam dan hukum Shariah di sana. Yang perlu dipahami di sini adalah, tidak semua umat Buddha Myanmar seperti U Wirathu. Sebagian besar dari mereka adalah moderat dan tidak menyukai kekerasan. U Wirathu memiliki kurang lebih 2.500 pengikut. Kalau ini ditakutkan sebagai gerakan, maka sungguh ini masih belum sebanding dengan, misalnya gerakan protes terhadap pemerintah militer Myanmar di tahun 2007 yang juga dimotori oleh Bhikku yang melibatkan 100.000 orang, yang kita kenal dengan Saffron Revolution yang berujung pada jatuhnya kuasa militer Myanmar.
Pandangan dan sikap U Wirathu ini mulai dikenal sejak tahun 2012 saat terjadi kericuhan antara penduduk Buddha dan Muslim, dipicu oleh pemerkosaan dan dibalas pengeroyokan yang berakhir pembunuhan. U Wirathu pada saat itu banyak memberikan pernyataan ke publik yang menyudutkan Muslim dan sayangnya karena terus menerus dipublikasikan, dia menjadi semakin terkenal. Sebagian besar penduduk Myanmar tidak setuju dengan sikapnya tapi karena dia adalah Bhikku dan mengingat sensitivitas isu Rohingya, maka tidak ada juga yang vokal menentangnya.
Masalah penduduk Rohingya masih jauh dari selesai, selama tidak ada itikad baik dari pemerintah Myanmar dan Bangladesh untuk menyelesaikannya. UU Kewarganegaraan di Myanmar harus diubah untuk mengakomodasi penduduk yang sudah lama tinggal di sini tanpa hak-hak dasar yang memadai. Negara-negara adidaya dan lembaga-lembaga PBB harus terus melakukan upaya-upaya diplomatik, termasuk sanksi-sanksi ekonomi atau politik untuk menekan kedua pemerintah negara ini untuk menyelesaikan masalah berkepanjangan ini.
–Sumber
[1]
Executive Summary of the Special Commission’s Report issued on 22 April 2013
The Mujahid rebellion in Arakan: Professor R B Pearn Foreign Office 1952
Population of Arakan Townships classified by Race in the 1931 Census
Extract on Arakan from the 1872 Census
Text of Burma Citizenship Law dated 15 October 1982
Text of the Burma Immigration (Emergency Provisions) Act 1947
[2]
Burma’s Western Border 1947-1975 – Dr Aye Chan, Kanda Journal Vol.2, 2011
The origin of the name “Rohingya” – Khin Maung Saw Humboldt University – 1993
Burma: The Rohingya Muslims – Human Rights Watch 1996
Rohingya – The name, the movement, the quest for identity – January 2014
Burma’s treatment of the Rohingya and international law – BCUK 2013
Mencerahkan mas, di tengah arus informasi media mainstream yang membuat semakin keruh.
Thanks Ardha, iya semoga bisa memberikan sudut pandang lain. Konflik ini sudah lama sekali ada di Myanmar dan Bangladesh. Oleh karena itu untuk mengurainya tidak semudah yang kita bayangkan.
Mas Arief, Assalamualaikum Wa rahmatullahi Wa Barakat
Thanks for your part of the description of the Rohingya refugee issue of Myanmar’. You might have been living in Yangoon more than two years; and possibly its only natural that your version is more akin to the Myanmar version of the simplification of t he issue. The text, sources, references you would be using, possibly would be a product of the social construction. It will also mean your choice of facts, figures or description would be more representative of the available discourse in the society that you are living in. I am sure if you lived in Maungdaw township with the Rohingyas, your version of the description would be completely opposite at times. But I fancy you will not be allowed to go to that region since I suppose its a completely restricted, isolated ghetto where a foreigner or even an ordinary Myanmar citizen can not enter and document the persecution of the Rohingays. And after all ‘sejarah’ or ‘History’ is always ‘his-story’ to be precise, and rarely ‘my-story’.
You have chosen in your description a few specific years, course of events which, I think, would support Myanmar version of propaganda machine , though I am sure it was not your original intention at all. You have omitted many other related description, specific years, course of events which, I think would support Rohingya version of their identity, tales of their persecution, oppression, genocide and extermination. Therefore one should get a more complete information to make judgement on a particular issue. And let me go part by part of your description and mention the points that I felt less complete and consequently troubling.
1. You have mentioned, and I quote you “Sebelum Inggris menguasai Myanmar, wilayah/propinsi (state) yang saat ini disebut “Rakhine”, terdiri atas 2 bagian. Sebagian dibawah wilayah Bengal dan sebagian lagi dibawah kerajaan Arakan.” This statement can be rephrased in equally true but different term as ” before the British power took over Myanmar, the area of Bengal (that should include present day Bangladesh as well as West Bengal of India, among others) comprised whole of traditionally known territory of Bengal and part of Arakan Kingdom”.
If historically Arakan included part of Bengal, or for that matter if Bengal included part of Arakan, do you think its only logical and natural that there will be spill over and over lapping of two populations especially in the border area of the geographical location that you identify as Arakan/Bengal? Indeed Arakan of Myanmar and Bangladesh today is a contiguous land with only the Naf river in between, at least in some part of the present day border. And actually the midline of the Naf River today is considered as the borders of the two countries, at least to a considerable stretch.
Just for the sake of simile, historically the West Java is regarded as the heartland of Sundanese people and Central and East Java is regarded as the heartland of Javanese people. In the border area of the traditionally known East and central java is there a specific geographical line that you can identify and say that absolutely no Javanese ever lived on this side of the line and no Sundanese ever lived on the other side of the line? Asserting so will only contradict our common understanding of how migration and demographic pattern evolved over the course of human history of thousands of years.
Therefore your statement “Dalam proses menuju kemerdekaan Bangladesh, tentunya banyak rakyat sipil yang mengungsi, lari dari perang. Sebagian lari menuju ke Selatan, masuk ke wilayah (bekas) kerajaan Arakan, yang saat itu sudah berada di bawah Burma. Pengungsi ini kemudian ditampung sementara, namun sebagian besar dikembalikan lagi ke Bangladesh karena tidak diakui sebagai warga Myanmar” is misleading to the readers. Its misleading because the statement gives an impression as if the refugee from Bangladesh (if at all) during 1971 war is the other name of the ‘Rohingyas’. Its misleading since by constitution every person is a Bangladeshi citizen if he or she lived within East Pakistan territory in 1971, even if he/she became a refugee in other country (including in Arakan, if any) due to the 1971 war. Its misleading since it gives an impression that no Rohingyas ever lived within Arakan territory before 1971. Its misleading since the impression goes against the natural logic of historical migratory evolution and demographic pattern of a contiguous land. Its misleading since if your history says part of Bengal or part of Arakan was under same rule before the British take-over then there must be a trace of overlapping population/demographic construct on the both side of the borderline as logic says. And therefore the trace of Rohingyas (in whatever minimal number) must be there in the border area of Arakan and present day Bangladesh even before 1971. Despite all these contradiction, and if at all 1971 refugees (as per your statement) were considered by the Myanmar government as the part of the problem, perhaps it would be acceptable had the Myanmar government said that any one who did not posses Myanmar citizenship before 1971 would be ineligible for Myanmar citizenship.
However, its interesting that the benchmark of 1971 has never been an issue even for the Myanmar government; it has never formulated its position on Rohingya population based on 1971 benchmark, at least not on any document.
Conversely the Myanmar government’s controversial formulation is based on a few benchmark based on years, none of them relates to 1971.
1947
As per 1947 Citizenship Act (when Myanmar became independent from the British) all Rohingyas are supposed to be eligible for Myanmar citizenship; either by domicile or naturalization.
Related article iv says, i quote @(iv)every person who was born in any of the territories which at the time of his birth was included within His Britannic Majesty’s dominions and who has resided in any of the territories included within the Union for a period of not less than eight years in the ten years immediately preceding the 1st January 1942 and who intends to reside permanently therein and who signifies his election of citizenship of the Union in the manner within the time prescribed by law”
Under the provision the so called Rohingyas have become voters, they have become Members of Parliament as well during the period 1950-1962 (pl refer to Human Rights Watch Periodical Report).
1962
A military coup was staged and the provision of regarding Rohingyas as citizens were halted.
1974
A new Constitution was enacted by the Military that prohibited the Rohingyas to be regarded as citizens if they could produce documentary evidence that they/or forefathers had been living in Myamar since 1823. Remember 1823 is the year when the Burman king was defeated by the British. Hence it will equate to say that in 1974 no Indonesian will be regarded as Indonesian citizen if he/she could not provide conclusive evidence that her forefathers were residing in Indonesian territory before 1603 (when the dutch arrived/took over the Indonesian territory). And I wonder how many of the Indonesians will have documentary evidence of showing their residence/lineage from 1603???
1982
A new citizenship act was enacted in a way where no Rohingya (even if her/his forefathers were living in Myanmar since 1823) will be able to become a Myanmar Citizen.
Its you who are debating on the history of Rohingyas and the origin of the nomenclature is neither the cause nor the solution of the problem.
2. Your reference to 1982 Citizenship Act is partial and troubling since you don’t mention that it contradicts the International Law and practice on citizenship rights. Its troubling since you dont quote the international rejection of the act. Its troublesome since you dont mention that it was not the original citizenship act under the condition of which the Myanmar got independence from the British.
Anyway I just lost the patience and appetite of writing any more. If you are interested, we can discuss this thing on another occasion.
But I do really appreciate your efforts in putting things into perspectives for others.
Keep it up. Cheers.
I wish you had not lost the patience to educate the readers (and myself, in particular). Do not lose hope :) It is never my intention to promote anyone’s propaganda. I am sorry if the article (or, I) came across that way. Any dates or particular timelines omitted are not deliberate. You are right, I did use whatever information was available. I did try to see if I could visit one of the area, but even just in Sittwe we were not allowed to spend the night at the time. So neither my company nor my friends supported the idea.
Quoting you : “Just for the sake of simile, historically the West Java is regarded as the heartland of Sundanese people and Central and East Java is regarded as the heartland of Javanese people. In the border area of the traditionally known East and central java is there a specific geographical line that you can identify and say that absolutely no Javanese ever lived on this side of the line and no Sundanese ever lived on the other side of the line? Asserting so will only contradict our common understanding of how migration and demographic pattern evolved over the course of human history of thousands of years.”
I think i need to clarify that the main purpose of the illustration is to make it clear for the readers that the Rohingyas have been there even for a long time. Long before the very first British census, even before Francis Buchanan’s visit – the Rohingyas have been there. There is no line, it is as you say a contiguous territory. This I fully agree. The origins of Rohingya, I wrote because when I was living there and when the boats came alongside the shores of Indonesia last year; Some (if not most) Indonesians think that the Rohingya problem is a religious problem. Some comments as you can see in this page even resort to giving the “similar experience” to Buddhists in Indonesia just so they feel the pain. Some comments i had to delete because they were outright war-mongering and wrong. I am not debating that the origins or nomenclature to be the cause of the problem. I do think it is important for people to understand, though; because talking to the people I met, the nomenclature is a deal breaker for some politicians. The avenue to recognize the Rohingyas as Bengali, is a problem for the Rohingyas. But acknowledging it; is a problem for the other politicians (the majority). So yes, in my opinion origins and nomenclature has everything to do with it. Now you may or may not agree with me, that’s completely OK.
And I have responded to your point about the 1982 Immigration Law. I don’t think I can make myself any clearer on how this new law imposed by the junta is the one causing the problem. So I think you can stop bashing with your analogies of Indonesian post-independence immigration law change. Yes this law is a big problem and the law needs to be changed.
I do not condone, tolerate or promote violence happening in Rakhine. However I also refuse to paint all the Myanmar people with the same brush. Which I think is another important message from my article. Simply thinking that all Myanmar people endorse Wirathu, or think and act like him is just wrong. Flaming a jihad movement to go to Rakhine and start killing the “kafir Buddhists”, is also wrong. I am very sure you do not think like that, but there are people who do. It is not a religious issue, it is a humanitarian issue. So people should take a moment when they see this issue wrapped in a religious context.
Coming out of a military junta just less than a decade ago, Myanmar also has a lot of issues on their plate – infrastructure, sanitation, poverty, corruption, education; not in that particular order. I am simply saying that it will take time; that is not to say the world should take a back seat and enjoy the show. But it will take time.
I also appreciate your feedback and I must say I am enjoying this exchange of opinions.
Thnx info nya mas.. Sejak pertama kali dengar istilah Rohingya saya bener2 penasaran.
Sama-sama :)
makasih mas, berkat artikel ini saya jd paham tentang Rohingnya hehehe
Terima kasih atas infonya. Tapi belum ada penjelasan mengenai alasan kenapa Bangladesh tidak mau menerima pengungsi Rohingya. Saya mencari di mbah google tapi belum dapat dari pandangan orang luar konflik. Mohon pencerahannya. Terima Kasih.
@dani: Alasannya sama seperti negara lain. Untuk sekedar menampung, mereka sudah melakukannya. Tapi untuk memberikan lebih dari itu, seperti memberikan kewarganegaraan, tentu mereka tidak bisa. Karena akan ada konsekuensi beban biaya untuk relokasi, tunjangan dan lain sebagainya.
tapi gak harus di bakar di bunuh donk
Hah siapa yang mengharuskan dibunuh? :)
Hi Mas Dani,
Why do you think Bangladesh might be willing to take more Pengungsi Rohingya from Myanmar? Bangladesh has been keeping tens of thousands of Rohingya pengungsi from Myanmar within its territory in two UNHCR camps within Bangladesh for last 30 years or more. How many more decades is it sustainable for Bangladesh to keep and feed these Rohingya Pengunsgi from Myanmar? Think about tens of thousands of pengungsi from negara lain staying in Java for three decades? Do you think that’s sustainable for Pemerintah Indoneisa?
Bangladesh has got its own problems; therefore accepting more Rohingya pengungsi from Myanmar is simply untenable. Accepting more Rohingya pengungsi from Myanmar will also allow to legitimize the illegal (by international law and norms) Citizenship Acts of 1982 promulgated by Military Junta of Myanmar. The author Mas Arief has totally ignored this fact. Remember Myanmar had original Citizenship Act of 1948 (when it got independence from the British) through which the Rohingyas would be Myanmar citizens by law.
Just think like this………. Indonesia got Independence in 1945 and as per international law and practice (and I am sure as per Indonesia Citizenship Act as well) who ever were born or lived within the Indonesian territory in 1945 and who did not want to become non-Indonesian citizen by choice would have become Indonesian citizen. Can you imagine Pemerintah Indonesia is enacting a ‘Citizenship Act in 1982’ (37 years after the independence of Indonesia) that says “Mas Dani you are not an Indonesian citizen, if you can’t provide concrete documentary evidence that your great great grandfather lived in Indonesia before abad 1823?” If you have a document to proof, please upload that for me.
Bottom line is Myanmar Military Dictator was the creator of the Rohingya pengunsi problem. And it is the pemerintah Myanmar that must solve the problem. Bangladesh or for that Matter Indonesia has got nothing to do with that except possibly shaming and condemning pemerintah Myanmar for their actions.
Hi Anis, actually in my article I have clearly stated that the 1947 Immigration Law is more favorable as it does not impose stringent requirement for people to be granted citizenship. In 1982, the government issued the new Immigration Law and it is, I quote myself, aimed at “deterring” the illegal migrants. The term illegal migrant, is not a term I coined for the Rohingyas, but it is what is stated in the papers I have read.
So yes, I very much agree that the military junta made things worse by imposing this law; and at the end of my article I again have written that ultimately it is up to the Myanmar government to either change that existing Immigration Law or to issue an Ad-hoc law allowing the refugees to be granted citizenship or some sort of assimilation program. Once this is done, the funds to sustain the new citizens – can easily be obtained either from humanitarian agencies or from other governments.
So why did I bring up Bangladesh? Historically both countries used to share the same land. I do not have the exact number, but reading at papers published by academician, it was stated that the flow of people between the two (now) countries used to be very fluid. I therefore assume that there is to some extent some compassion and willingness to take some of the refugees as citizens. These people did not originate from Indonesia, Australia or anywhere else. They are Arakan people, the land where Myanmar and Bangladesh used to share. And yes, i understand the sustainability problem, the amount of money it requires to do this. But money, in my opinion is secondary – once there is commitment then the support can be obtained from other parties.
Arief, I think its ‘ Myanmr/Union Citizenship Act 1947/1982’ that we are referring to; its not Immigration Law of 1947/1982. If we use the term ‘Immigration Law’ then it brings a whole set of different connotation, meaning and consequences in the context of Myanmar. A country that do not recognize its own people as citizens will need many more years to accept an ‘Immigration Law”, I guess. Immigration Law deals with migration that might or might not lead to citizenship; pretty much misfit a term in the context of Rohingyas.
The globe has almost 200 countries; and possibly most of them have the citizenship/immigration law (can’t be used interchangeably for Myanmar despite the fact that many countries use the term interchangeably). Myanmar’s one is unique, unacceptable as per international norm and practice and consequently possibly rejected by most of the international community in the sense that the citizenship/immigration laws of most of the countries define who are citizens of a given country; Myanmar’s citizenship Act 1982 defines “who are not citizens”. Persecution of Rohingya, no wonder, is in its very formulation.
In the same note possibly I would be more careful in using the terms ‘refugees’/’new citizens’. Rohingyas can be a refugee in Bangladesh, in Malaysia or Indonesia; certainly not in Myanmar, at least that’s the whole contention is about.
As for your assumption of compassion and willingness on the part of Bangladesh to accept Rohingya as citizens!!!! I think there lies the deepest tragedy for the Rohingyas. They speak a dialect of Bengali language which is spoken by both sides of Naf river, in Arakan of Myanmar and Coxs bazar area of Bangladesh. Comparative to Bangladesh’s population size speakers of that dialect in Bangladesh would be very small. So in terms of sharing language the room for growing compassion is minuscule i guess. Myanmar also shares borders with India (where 200 over million people speak Bengali), Thailand, China and Laos. So other than geographical proximity possibly there is not much room for Bangladesh to grow extra compassion for the ill-fated Rohingyas. So this is a group that has been disowned by every prospective sympathizers only to be persecuted and exterminated, I feel sad though.
You will be astonished to know some of the countries within ASEAN that defend Myanmar’s policy towards the Rohingya and by implication emboldens all the human rights violation in Rakhaine. You will also be astonished to see the stand of the governments of these ASEAN countries in intergovernmental forum, despite the fact that the facebook and blog are flooded with the compassion/sympathies from citizens of these countries.
Thus words like commitment, money, willingness, I tell you have very little real meaning in diplomacy. Its only the self-interest that matters.
Despite possibly all the negative connotation that comes with the term Rohingya, I personally feel its not just right to persecute an entire group wholesale, the way it is going on now!
I note your argument on the use of the term “Immigration Law” – I had difficulties translating it to Indonesian that people would understand and used “Undang-Undang” to signify that it is a strong formal/ legal document used by the state to enforce something. I will change this though and just use the original name.
I agree that the ASEAN nations could do better. In my interactions with some of the employees in the Foreign Affairs Department, they seem to also shy away from having proper discussions on how Indonesia stance is on the whole Rohingya issue. OK maybe I am gullible to count on the Myanmar’s government’s goodwill, commitment, etc. but honestly I am also out of ideas :D Sanctions did not work; it also did not work with Iran; So what more can they do? A military intervention? There is not enough vested interest of other countries to mobilize troops there.
artikel yang sangat bagus. Mencerahkan bagi yang awam seperti saya. terima kasih
Sama-sama @auli. Semoga bermanfaat.
Karena U Wirathu adalah seorang bikhu maka tidak ada juga yg vokal menentangnya…
Ada kemiripan
Betul sekali @rahmat. Kalau dengan pemuka agama, orang cenderung ragu untuk melawan.
Apalagi di Myanmar, melawan Bhikku bisa jadi bunuh diri politik bagi para politikus.
Artikel didukung dgn latarbelakang sejarah, yg membuat situasi menjadi jelas, mantap
Terima kasih @Erni. Kurang bisa berimbang kalau kita tidak menilik dari sejarah dan aspek-aspek lainnya.
Terus kenapa jadinya pada dibunuh”in??
Secara formal, pihak pemerintah dan militer (akan selalu) membantah bahwa pembunuhan terjadi. Tapi yang kita lihat, pengungsi berlarian ke seluruh penjuru dunia, mencari perlindungan. Kenapa Rohingya harus ditindas? Jawabannya, sayangnya tidak bisa sederhana. Ada yang terjadi sistematis (operasi), ada juga yang terjadi secara sporadis; misalnya keinginan balas dendam ke Rohingya. Apapun alasannya, ini tidak bisa dibenarkan.
Myanmar baru saja menjalankan Pemilu yang damai setahun yang lalu dan memenangkan partai NLD. Setelah puluhan tahun dibawah Junta Militer, banyak sekali ketertinggalan yang harus dikejar oleh pemerintah. Akan butuh waktu untuk bisa menyelesaikan polemik Rohingya ini.
Balas dendam ke rohingya? Sebelumnya rohingya membunuhi mereka? Kapan mas?
Iya – jadi di Myanmar ini banyak kelompok pemberontak, yang sampai sekarang kelompok ini masih ada. Meskipun sekarang sedang gencatan senjata, kelompok-kelompok ini masih punya akses ke senjata. Dulunya, mereka bertempur/ memberontak melawan pemerintah dan kelompok2 lainnya. Dalam masa itu tentu jatuh banyak korban, terjadi kejahatan lain juga perampasan, pemerkosaan. Ini yang saya maksud dengan dendam. Secara historis memang kurang baik dan butuh waktu lama untuk normalisasi.
thanks atas paparannya mas. sebagai orang Indo yang baru 4 bulan menetap di Yangon saya sering mendapat banyak pertanyaan dari kerabat seputar isu ini. ijin share ya mas. many thanks
Iya silahkan di share :) And welcome to Yangon! Waktu aku tulis artikel ini, aku juga pas tinggal di sana.
tetep aja ya caranya salah mas kalo seperti itu . oke kita menghormati kebijakan negara tersebut. tapi apa iya mereka menghormati hak asasi manusia . coba sekarang dibalik deh . seandainya kita sebagian dari Muslim Rohingya. bisa ngerti perasaannya gak? “semua orang bisa berpendapat sihh” cuman saya sebagai muslim . rasanya sedih kalo tindakan pemerintahnya seperti itu .
@dy: Lho iya memang salah. Tapi Myanmar ini negara berdaulat. Mereka punya hukum perundangan yang berlaku. Negara manapun sulit untuk memaksa mereka untuk merubah konstitusi mereka. Kecuali mau main invasi kayak AS ke Irak dan Afghanistan. Bumi hanguskan, ganti peraturannya. Tentu gak bisa juga seperti itu. Yang bisa dilakukan oleh negara tetangga ya menampung (sementara) para pengungsi.
Indonesia dan negara lain, setelah menampung pengungsi pun; kita tidak serta merta memberikan kewarganegaraan Indonesia kepada para pengungsi kan? Karena memang dalam perundangan kita pun tidak bisa main kasih kewarganegaraan.
Solusinya, harus ada itikad baik dari Bangladesh dan Myanmar. Untuk mau memutihkan mereka, dan memberikan kewarganegaraan. Tutup camp pengungsian di Sittwe dan berikan tempat tinggal yang layak bagi mereka. Tapi tentu pelaksanaannya lebih sulit daripada diucapkan :)
kenapa amerika bisa lakukan di irak & afganistan tetapi tidak bisa di Myanmar pak?
Pak Arief, kalau menurut saya ini karena di Myanmar tidak ada minyak :) meskipun mereka ya punya gas.
Meskipun demikian, bukan berarti Amerika tidak menerapkan sanksi di sana. Selama berada di bawah junta militer, Myanmar dikenai sanksi ekonomi. Setelah terjadi transisi pemerintahan ke sipil, barulah satu per satu sanksi ini diangkat.
Walau begitu perjalanan sejarah,tapi pembunuh dan pembantaian harus segera di hentikan apa pun alasannya.
Bgmana jika orang budha di indonesia juga di bantai oleh orang islam,supaya tahu rasanya dan sadar atas kekejaman nya
Om noor… jika berbuat seperti itu, akan ada lagi dendam sana sini. Dan kondisi kita bisa seperti “mereka”.
Dan apakah mereka mau mengurus kondisi kita, sedangkan kita beda negara, dan mempunyai aturan perundan2an masing2.
Solusinya tetap kembali dikedua negara di atas.
“Solusinya, harus ada itikad baik dari Bangladesh dan Myanmar. Untuk mau memutihkan mereka, dan memberikan kewarganegaraan. Tutup camp pengungsian di Sittwe dan berikan tempat tinggal yang layak bagi mereka. Tapi tentu pelaksanaannya lebih sulit daripada diucapkan :)”
mas bro yakinlah…membantai umat buddha di indonesia itu tdk membuat mereka(myanmar) menyadari perbuatan mereka. mereka(myanmar) mana mau peduli dgn apa yg akan terjadi di indonesia gitu.
jdi berhenti membuat perumpamaan / pengandaian bila umat buddha indonesia dibantai islam itu gmn. yg terjadi dinegara lain itu negara lain punya masalah…
ini sama saja ketika banyak orng2 non muslim melihat ISIS membuat teror bom bunuh diri…lalu mereka langsung melihat islam sebagai teroris, padahal islam kan tidak seperti itu, dan bisa jadi ISIS itu bukan islam.
*kenapa kejadian di luar negara selalu berhasil membuat segelintir orng untuk membenci yg di dalam negeri.
Kamu lucu!
lupa ingatan atau stroke otaknya?
Mei 1998 lupa ? masih belom cukup belajar dari sejarah? apa perlu Indonesia spt Suriah?
Memangnya ketidak adilan cuma terjadi pada orang Muslim?
Go picnic! open ur eyes!
otak lebih besar dan berat dari mulut , use ur brain more ! ! !
Mas bro pikiran anda mirip teroris ya. Ap urusannya org buddha disini sama yg disana. Ati2 klo ngomong anda bisa micu konflik memecahbelah bangsa. Kan baca sendiri tuh konflik ini bukan serta merta konflik agama. Apa org buddha disini musuhin org islam gara2 konflik disana?
Pemikiran dangkal seperti ini masih banyak dimiliki anak negeri Indonesia yang beraneka suku dan kebudayaan, yg dahulu diperjuangkan oleh para pahlawan dan pendiri bangsa utk bersatu dan merdeka.
Sedih? Tentu..
Bagaimana jika saudara-saudara muslim dan mesjid di eropa dan amerika dilempari dengan bom seperti yang terjadi dengan minoritas di Indonesia? Bagaimana jika perempuan-perempuan muslim diperkosa beramai-ramai seperti etnis tiong hoa diperkosa di sini pada tahun ’98?
Seharusnya mental pro kekerasan dan provokatif seperti punya Noor Syailendra jangan dibiarkan beranak pinak. Makanya konflik seperti Myanmar terhadap Rohingya bisa terjadi. Karena ada orang-orang yang jalan pikirannya seperti anda. Bawaannya ingin menyiksa dan menindas orang lain terus.
thanks pencerahannya masbro….tolong di share ke markas fpi juga….wkwkwkwkwk
Hahaha silahkan
Menurut pemahaman saya terhadap artikel ini, ga ada sentimen agama di sana, cuma sebagian kecil saja bikku yg sentimen agama, mirip2 disini lab hanya sebagian kecil saja ulama yg suka sentimen dg agama lain. Artikel jos mencerahkan dg sumber yg valid.
Tetap ada sentimen agama Pak, tapi tidak hanya itu; dan tidak bisa dibilang seluruh Myanmar terjadi diskriminasi. Hanya di daerah Sittwe itu saja yang memang sensitif area nya. Dan pelemahan Rohingya memang sengaja dilakukan. Kalau UU KEwarganegaraannya tidak dirubah, maka pejabat publik pun akan susah untuk bergerak. Meskipun presidennya bukan militer, tapi pengaruh militer masih sangat kuat di sana.
Kenapa yang dipermasalahkan hanya Myanmar? Anda baca dengan jelas tidak? disitu kan ada Bangladesh juga yang jelas2 negara Muslim, ya suruh Bangladesh aja buat nerima semua Etnis Rohingya, toch secara kulit juga mereka mirip…….
Tapi karena sejarahnya bukan soal Agama……makanya baik Myanmar dan Bangladesh jadi sama2 menolak, Silahkan anda googling, kemaren2 masuk di tv pengungsi Rohingya banyak di Aceh dan orang Aceh sendiri banyak gak suka sama kehadiran mereka……
Banyak2 baca sebelum ambil kesimpulan
Wah repot juga ya mas kl sudah berhubungan dengan sejarah dan peristiwa masa lalu apalagi sudah menjadi stereotype. Dan dari apa yang saya terima sejauh ini, Rohingya identik dengan muslim yang didiskriminasi. Dari artikel ini saya mengambil kesimpulan sendiri bahwa Rohingya ini mendapat masalah yang berlapis2 yaitu stereotype + sejarah + konflik 2 negara+pemberitaan yang simpang siur + kurangnya informasi + adanya kelompo yang sengaja mau memperkeruh :(
Exactly Pak @sasmita – problemnya sudah lama sekali; tapi memang diperparah dengan kondisi Myanmar yang sempat dibawah kendali militer sehingga pelemahan Rohingya terus dilakukan.
Tks mas pencerahannya, tapi sepertinya kebenaran yg seperti ini sulit diterima oleh mayoritas masyarakat kita, yang sudah terlanjur menstigma bahwa ini masalah agama.
Ada beberapa kemiripan dengan kejadian di Indonesia, seperti U Wirathu yg memanfaatkan sentimen agama untuk provokasi.
Semoga Indonesia melalui perannya di ASEAN dapat mendorong penyelesaian masalah ini dengan Myanmar dan Bangladesh.
Ijin share mas.
Di Myanmar pun, sentimen nya agama dan ultranasionalisme. Tapi sebenarnya permasalahannya lebih kompleks. Mereka tidak menyingkirkan Rohingya karena keislaman mereka; namun lebih karena secara historis suku mereka tidak diakui. Lalu diperparah dengan terjadinya pemberontakan yang membuat korban jatuh di kedua pihak. Luka ini yang akan butuh waktu lama untuk menyembuhkan.
Betul kalau ku baca dari artikel diatas…bahwa kedua negara tidak mau mengakuinya…tapi negara myanmar tidak boleh sesuka hati membunuh mereka…ap dgn sperti itu masalah selesai dgn melenyapkan mereka dari myanmar…ap mereka myanmar negara dgn tingkah laku biadab bisa dibenarkan…karena undang2nya tidak boleh jadi warga negara kalau bukan dari keturunan myanmar…
Menurut saya kita harus berhati-hati dalam menjatuhkan vonis “negara myanmar”. Apakah yang dimaksud pemerintah Myanmar? Secara formal, pemerintah tidak memerintahkan untuk membunuh komunitas Rohingya. Apakah militer? Secara formal, militer pun tidak mengakui meskipun kekerasan terjadi. Atau yang dimaksud orang-orang Myanmar secara umum? Karena ketegangan hanya terjadi di daerah Sittwe. Di tempat-tempat lain, semua agama hidup harmonis berdampingan.
Nah yang mempersulit adalah UU kewarganegaraan itu. Selama itu tidak dirubah, atau dianulir dengan sejenis Peraturan Presiden atau apalah, maka tidak ada jalan/ avenue, bagi mereka untuk diakui dan hidup sebagai warga biasa.
Ternyata sejarahnya panjang ya, cm sayang media berusaha memlintir isu utama adalah agama :(
Thanks artikelnya bro ..
Iya panjang cerita nya dan kompleks. Memang agama menjadi salah satu komponen, tapi solusinya tetap perubahan undang-undang atau kebijakan adhoc dari Myanmar khusus untuk menangani ini.
Sama2, semoga bermanfaat
ini vicky prasetyo bukan?
Hahahhaa :))
Mencerahkan.
Tulisan bagus mas,makasih…
Dulu di Mkp Corner Ugm pernah dibahas oleh dosen fisip yg tergabung dlm advokasi Asean.
Beliau berpendapat adanya isu pipa minyak/gas yg g pernah muncul di permukaan, pipa tsb menuju ke salah satu 3 angsa besar Asia (jepang,korea,china) China yg membawa migas dri Afrika, pipa tsb lebih efisien dripd membawa migas dg kapal muter ke selat malaka, nah di tempat itu (rakhine) sudah dikapling2 antara negara2 tsb, kabarnya prancis jg punya kapling, makanya kenapa 3 angsa & negara yg terlibat migas cendrung diam, pdhal china scara wilayah dkat dg myanmar & china jg vokal bgt ttg LTS tp rohingnya mlah diam.
Sumber: Hanya ‘kutukan: Minyak?: Rohingnya dan formasi negara di Myanmar Oleh: Hasrul Hanif, JPP Fisipol UGM, 2015
Menarik, saya belum pernah baca tentang itu. Ada link ke paper-nya mas Ardi?
Memang kalau sudah bicara intervensi negara lain, harus dilihat apakah ada “vested interest” di sana.
Peran PBB disini nantinya apa ya klo boleh tau?
Apa pasukan perdamaian juga ada scope yg membatasi dalam menekan jumlah korban yg semakin bertambah?
Saya meihatnya tidak hanya dari issu agama saja, melainkan dari sudut pandang kemanusiaan.
Kalau sepanjang yang saya tau, UN peacekeeping force tidak boleh masuk. Jurnalis lokal maupun internasional juga hampir tidak mungkin masuk. Bahkan LSM internasional untuk menyalurkan bantuan saja sulit, harus by-proxy. Jadi ya yang ada di sana hanya tentara Myanmar.
Kesimpulanya, berarti harusnya Bangladesh ya yg berkewajiban menerima Rohingnya kang? kalo dilihat dari sejarah asal usulnya
Kalau menurut saya, kedua negara harus berbagi tanggungjawab. Karena secara historis, dulunya perpindahan penduduk antara kedua wilayah ini sangat cair. Tapi ya itu selain itikad baik kedua pihak, perlu juga dana yang tidak sedikit. Asimilasi ke masyarakat akan butuh waktu dan biaya yang besar.
Harusnya Bangladesh yg bisa menerima mereka ,dilihat Dari sama agama nya, cm sama agama saja Bangladesh tidak mau menerima, apa krn dahulu suku ini dl pernah berontak sehingga Bangladesh jg tidak mau menerima, kasian keturunan yg sekrnag yg tidak tau apa apa,.. thank u utk penjelasannya baik utk di mengerti agar bangsa kta tidak Serta merta berprasangka yg disangkut paut dgn agama
Di Bangladesh tidak ada suku Rohingya. Populasi Rohingya yang ada di Bangladesh, ya mereka yg melarikan diri dari Myanmar. Ini juga yang bikin agak ribet.
Sayangnya menerima pengungsi sebagai warga negara itu tidak bisa dilakukan sertamerta. Selama ini banyak negara yg menampung pengungsi, tapi berapa dari mereka yg memberikan kewarganegaraan? Ini mainly karena masing2 negara punya UU Kewarganegaraan dan protokol penanganan pengungsi yang harus mereka patuhi.
Artikel yg bagus mas, saya izin share yaa… :) kalo menurut saya kenapa Bangladesh tidak mau terima juga, mungkin karena bangladesh juga bukan negara kaya, tetapi adalah negara miskin yang banyak penduduknya bekerja di luar negri sebagai pekerja kasar. Bangladesh juga merupakan satu negara dengan jumlah penduduk yang padat, sehingga itu mungkin yang menjadi salah satu alasan mengapa tidak mau menerima pengungsi baru. Kasarnya “gw hidup aja udah susah dan sekarang kudu ngurusin anak orang dan ngangkat anak?”. Saya pernah beberapa kali pergi ke Bangladesh dan yang saya lihat disana memang seperti itu kenyataannya, kota yang kumuh dan padat, fasilitas umum yang tidak memadai, sehingga dimanfaatkan beberapa perusahaan tekstil besar dunia untuk buka pabrik disana karena biaya yg harus mereka keluarkan untuk tenaga kerja rendah dibandingkan di tempat lain. Sedikit dari saya sih mas, mohon dikoreksi apabila ada salah :)
Absolutely right mas Taufik. Pertama kedua pemerintah ini harus membuat mekanisme untuk menerima pengungsi untuk hidup sebagai warga biasa (meskipun 2nd class). Saat ini keduanya secara undang-undang tidak bisa menerima. Nah kalaupun mereka bisa membuat produk hukum sementara/ adhoc, yang khusus untuk menyelesaikan problem pengungsi ini… kembali ke masalah duit. Butuh anggaran yang besar untuk melakukan program relokasi, terus berbagai pembinaan dlsb. Tapi sebenarnya di sini komunitas internasional bisa membantu. BUkankah kita sering melihat bantuan finansial antar negara.
Tapi untuk langkah awal, komitmen itu harus datang dari pemerintah Myanmar dan Bangladesh, untuk mau menerima mereka. Putihkan semua syarat-syarat, berikan identitas fresh dari awal. Sediakan tempat bagi mereka untuk makan, minum, hidup dan bersekolah atau bekerja (even sebagai cheap labor). Kalau komitmen itu ada, saya yakin banyak negara yang bersedia membantu.
Btw kalau boleh tau, kegiatan mas arief di Yangon sebagai apa. Apakah situasi muslim & antar umat beragama atau warga pendatang di Yangon kondusif
Saat artikel ini ditulis, saya bekerja di perusahaan migas di sana. Kantor saya di Yangon. Kalau mau ke lepas pantai, saya singgah di Sittwe di propinsi Rakhine. Di Yangon tidak ada masalah Pak Charles. Semua hidup normal, bekerja, berdagang dan beribadah dengan bebas.
Di Sittwe ini yang agak sensitif. Kami selau dihimbau utk menghindari memakai atribut atau simbol agama. Termasuk mengirim engineer berjilbab, ini tidak disarankan oleh aparat setempat.
Jgn buyar juga dgn pembunuhannya, terlepas dgn alasan apapun
Benar sekali. Tidak bisa dibenarkan sedikitpun.
Oh begitu ya…tapi tidak harus menyiksa dan membunuh…cari solusi terbaik, bukankah bumi ini diciptakan untuk manusia…dan makhluk lainnya.
Betul setuju 100%. Kekerasan atas nama apapun tidak bisa dibenarkan dan dibiarkan.
Saya sempat berkunjung ke Yangon dan mampir ke pasar suvenir di sana-saya lupa namanya. Di sana saya ngobrol dengan pramuniaga. Seorang pramuniaga muslim yang paling muda, lebih manis dari yang lain diberi gaji lebih oleh boss-nya, yang beragama Buddha karena kejujuran dan keuletannya. Saya sendiri non-muslim tetapi tertarik dengan kasus Rohingya dan penasaran dengan keselarasan hidup beragama di Yangon. Ternyata masyarakat di sana sangat harmonis dan cenderung menjauhi kekerasan, mirip dengan di Indonesia. Tetapi ketika saya bertanya kepada gadis pramuniaga tadi soal Rohingya, dia menolak berkomentar walaupun dia sendiri seorang muslim. Di pasar itu beberapa kali saya melihat wanita berhijab dan berjalan tanpa gangguan. Tulisan yang menarik mas. YNWA!
Namanya Pasar Bogyoke Aung San. Iya di downtown Yangon banyak sekali pedagang Muslim dan Cina. Rumah ibadah juga banyak. Di sebagian besar Myanmar memang hidup damai berdampingan. Hanya di Rakhine memang agak sensitif.
Saya waktu itu kalau mau ke lepas pantai, transit di Sittwe di Propinsi Rakhine. Disana di permukaan juga baik2 saja. Tapi ada hal2 tertentu yang tidak disarankan, misalnya waktu perusahaan saya mau mengirim engineer berjilbab, itu disarankan utk jangan dilakukan karena banyak yg sensitif thd simbol2 agama Islam.
YNWA! :)
Terima kasih pencerahannya mas. Namun apa pun itu yg melatarbelakanginya, tetap saja bukan menjadi pembenaran untuk tindakan yang tidak manusiawi yang sudah terjadi. Semoga konflik ini segera selesai dengan damai.
Tentu tidak ada pembenaran utk kekerasan. Tapi menurut saya masalah ini sangat kompleks dan butuh waktu utk menyelesaikannya. Semoga pemerintah Myanmar yg baru bisa segera membuat resolusi. Arah ke sana sudah ada, dengan dibentuknya tim independen yg diketuai Kofi Anan.
Makasih atas artikeknya, mata dan hatu saya jadi terbuka.
Informatif
Maaf mas saya mau tanya,
Jujur saya jd memiliki info lebih jauh ttg rohingya ini.
Yang mau saya tanya knp malah byk terjadi kasus penganiayaan yg keji thdp kaum muslim rohingya?
Hi Mona, syukurlah kalau bermanfaat.
Ya memang ada kelompok-kelompok di Myanmar (militer, sipil dan agamis) yang merasa terganggu dengan keberadaan mereka. Pemerintah yang baru ini sepertinya masih belum matang strateginya untuk menangani pengungsi Rohingya.
menurut yang saya baca yaa bersangkutan dengan masalah historis mereka mba, tentang pemberontakan dan sebagai macam pada jaman dahulunya. walaupun sekarang sedang gencatan senjata, tetapi nama rohingya sendiri sudah membekas/ di cap buruk oleh sebagian orang di myanmar, dan ada beberapa orang yang berpikiran untuk melakukan aksi balas dendam kepada muslim rohingya.
walaupun tidak bisa dipungkiri yang namanya kekerasan itu tidak dibenarkan sama sekali. CMIIW :) semoga masalah ini cepat terselesaikan. aamiin #prayformuslimrohingya
Uhm, dibagian artikel “apa yang mereka mau”, disebutkan kalau orang orang Rohangya sebenarnya ingin dianeksasi Bangladesh karena kesamaan karena kesamaan identitas sebagai Muslim.
Selanjutnya Mas menyebut Abdul Ghafar dari partai Mujaheed ingin memperjuangkan hak Muslim dengan salah satunya menjadikan wilayah Rakhine sebagai wilayah Islam.
Pertanyaan saya, mengapa Abdul Ghafar memperjuangkan hak sebagai Muslim bukan lebih umum seperti diakui kewarganegaraanya dan dipermudah proses naturalisasinya? Mungkinkah mereka mendirikan negara sendiri mengacu pada sejarah bahwa mereka adalah orang Rakhine dan wilayah kerajaan Arakan mereka sebagian diakui Banglasedh dan Mynmar?
Iya, karena pada awalnya sesuai Union Immigration Act 1947, penduduk Rakhine semua diakui sebagai warga negara. Jadi mereka secara teknis belum mengalami permasalahan ini; setidaknya pada waktu itu. Oleh karena itulah, yang diperjuangkan adalah hak sebagai muslim (ingin menjadi daerah istimewa). Mengapa ingin menjadi daerah istimewa? Karena memang mereka secara historis banyak warga muslim yang tinggal di sana, berbeda dengan wilayah-wilayah lain di Myanmar.
Hanya saja, sejak militer Myanmar mengambil alih pemerintahan dan diterapkannya UU Kewarganegaraan yang baru pada tahun 1982; di sinilah semua jadi berantakan, karena warga yang tadinya sudah diakui menjadi batal kewarganegaraannya. Dan lebih parahnya lagi, asal-usul mereka diperdebatkan dan dipersulit untuk apply sebagai warga negara.
Dokumen pelengkap tuk jelaskan asal-usul kaum Rohingya yg skrg (beda dgn yg dulu), semoga bermanfaat.
https://www.quora.com/Who-are-the-Rohingya-people
Saya setuju dgn pemaparan yang netral dan cukup komprehensif. Namun, menurut saya yg menjadi persoalan mendasar bukan masalah konflik horizontal nya, tapi bagaimana negara mereka bisa melindungi setiap orang dgn martabatnya untuk tidak mendapat penyiksaan biadab. Tidak ada margin of appreciation dlm HAM terhadap negara untuk membiarkan setiap orang mendapat penyiksaan (prohibition of torture), dalam apapun keadaannya, termasuk konflik yang blm terselsaikan. Saya mengerti maksud dr tulisan anda utk tdk mengarahkan pd kristalisasi konflik tsb pd konflik agama. Namun, saya menyarankan utk menambah ditulisan anda mengenai perlindungan masyarakat rohingya dari penyiksaan yang tdk manusiawi dan biadab. Sebab, tanpa menyebutkan itu, akan terkesan menjustifikasi kebiàdaban ekstrimis ini karena cuma masalah pengakuan warga negara. Padahal, bebas dari segala bentuk penyiksaan adalah Hak Asasi Manusia, bukan sebatas hak warga negara (constitutional right).
Terima kasih Pak Azam. Saya sepakat bahwa ini adalah masalah humanitarian. Artikel saya (dan saya pribadi) tidak bermaksud menjustifikasi pelanggaran HAM di sana; melainkan berbagi pengetahuan tentang asal mula komunitas Rohingya dan komplikasi di masa lalu yang membuat kondisi mereka seperti ini. Terima kasih atas masukannya, nanti akan saya perbaiki supaya lebih jelas posisi saya dalam hal perlindungan HAM ini.
Terimakasih infony mas…
Semoga kita tdk serta merta menilai seseorang dr apa yg diberitakan di publik… :)
Setahu saya Agama Budha agama damai, jadi kita harus membedakan antara Agama dan aturan negara, jadi masalah rohingnya bukan masalah agama, karna pemerintah Bangladesh juga harus bertanggung jawab atas masalah ini, trims atas infonya
Singkat namun cukup komprehensif.
Lima jempol ? ? ? ? ?
panjang euy….takes time ah….
Yah mirip pki di Indo lah, walau beda nya pki ideologis, rohingya dibawa agama, jd Yah pasti ada santimen ke org keturunan pki, bgitu jg rohingya, bukan masalah agama utama nya walau sebagian ada yg manfaatin ini, sbenernya cmn santimen negatif dr history mrk.. Seandainya ada kaca.. Itu kenapa jaman pki org di genosida tanpa ada proses hukum? Ada kemiripan ga dgn rohingya skrg bahkan gw yakin korban nya lebih banyak dr rohingya… Ah seandainya taun 65 teknologi uda kaya skrg banyak socmed….
Keempat, pengelolaan keadilan sosial dalam kata-kata sering Ahokas disampaikan dalam debat kedua. Bagi orang-orang yang tidak mampu, mengingat biaya instalasi gratis. Itu tidak untuk membangun jalan terus, tetapi konstruksi dasar dari rel kereta api. Tahun lalu, 53 bagian baru sudah dibangun Ahokas.
allah swt adalah tuhan palsu yang ngak tahu nama perempuan pertama dan ngak tahu umur adam.
tunjukan dalilnya kalau allah swt tahu, kalau ngak tahu bukan Tuhan karna Tuhan maha tahu.
Surat Al-Jasiyah Ayat 16
???????? ???????? ????? ???????????? ?????????? ??????????? ?????????????? ??????????????? ???? ????????????? ???????????????? ????? ?????????????
Dan sesungguhnya telah Kami berikan kepada Bani Israil Al Kitab (Taurat), kekuasaan dan kenabian dan Kami berikan kepada mereka rezeki-rezeki yang baik dan Kami lebihkan mereka atas bangsa-bangsa (pada masanya).
Bani Israil diberikan kekuasaan dan kenabian.
Tunjukan dalilnya kalau allah swt berkata bangsa arab diberikan kekuasaan dan kenabian ?
Para nabi asli bani Israil, Tuhanya dalam bahasa Ibrani YHVH, tidak ada allah dalam Taurat Ibrani karna allah bukan Tuhan.
Surat Maryam Ayat 17
???????????? ???? ????????? ???????? ????????????? ????????? ???????? ??????????? ????? ??????? ????????
maka ia mengadakan tabir (yang melindunginya) dari mereka; lalu Kami mengutus roh Kami kepadanya, maka ia menjelma di hadapannya (dalam bentuk) manusia yang sempurna.
Jibril cuma satu menjadi manusia.
Tuhan kristen cuma satu menjadi manusia.
Tuhan menjadi manusia yaitu Yesus.
Thank you for this article. I love this