Broken Windows Theory: Korelasi dan Kausalitas
Pada era 1980an, New York City (NYC) adalah kota yang berbahaya. Tingkat kriminalitas di kota tersebut tinggi diikuti dengan perdagangan narkoba yang merajalela. Berbagai upaya dilakukan oleh pemerintah kota; memperberat hukuman, razia di perkampungan sampai program-program sosial. Semua upaya itu tidak membuahkan hasil. Pada tahun 1991, NYC memiliki walikota baru, Rudy Giuliani. Sang Walikota lalu meminta bantuan sekelompok konsultan untuk memberikan solusi. Salah satu analisa yang dihasilkan kelompok ini adalah; mereka melihat adanya korelasi (hubungan) yang positif antara jumlah grafiti (coret-coretan dinding), kerusakan fasilitas publik dengan angka tingkat kriminalitas. Semakin banyak grafiti dan kerusakan di sebuah lokasi, maka semakin tinggi pula tingkat kriminalitas di lokasi tersebut. Dengan demikian, kesimpulan yang ditarik adalah bila pemerintah bisa mengurangi jumlah grafiti, kerusakan fasilitas publik, maka angka kriminalitas akan turun. Ini atas asumsi bahwa apabila sesuatu telah diperbaiki, maka kecil kemungkinan untuk dirusak lagi. Selain itu lingkungan yang baik dan bersih akan membuat orang urung melakukan tindak kriminal. Teori ini dikenal dengan “Broken Windows Theory”.
Rudy lalu melakukan pemotongan anggaran dari sana-sini, yang direalokasikan untuk membersihkan grafiti, perbaikan fasilitas umum, menambah patroli di tempat tertentu untuk mencegah aksi corat-coret. Apa yang terjadi kemudian? Sejak itu terjadi penurunan jumlah grafiti, dibarengi dengan penurunan tingkat kriminalitas. Program ini pun menjadi success story dan prestasi Rudy menjadi buah bibir.
Tidak lama kemudian, kota-kota lain di Amerika mereplikasi program Rudy. Mereka jor-joran menggelontorkan dana untuk membersihkan kota mereka dari grafiti dan memperbaiki kerusakan fasilitas publilk. Tapi apa yang terjadi, hampir semua kota yang menirunya tidak berhasil menurunkan angka kriminalitas, meskipun kota mereka sudah lebih bersih. Kenapa? Karena meskipun ada korelasi positif antara jumlah grafiti dan angka kriminalitas, kedua hal tersebut sebenarnya tidak berhubungan sebab-akibat.
Dalam keseharian, kadang kita juga melihat korelasi antara 2 hal dan mengambil kesimpulan bahwa keduanya berhubungan sebab-akibat. Saya membuka laundry kecil di Cibubur. Pada bulan-bulan pertama saya rajin menganalisa berbagai hal terkait bisnis itu. Salah satunya prakiraan cuaca vs. pendapatan. Pada 3 bulan pertama saya rekam jumlah hari dimana hujan turun, dan omzet yang didapat di bulan tersebut. Mata saya berbinar saat melihat ada korelasi positif. Saya minta si supervisor untuk rutin mengecek prakiraan cuaca setiap 7 hari ke depan; sampai bahkan menambah pegawai untuk mengantisipasi volume kerja. Hasilnya? Meskipun hujan tetap turun, ternyata omzet turun dan margin berkurang karena pegawai sudah bertambah satu. Hahah.
Media-media di Indonesia banyak yang sering meliput korelasi antara dua hal. Misalnya “Harga barang VS. Harga BBM”, “Tingkat kelulusan VS. Jumlah guru”, “Jumlah mobil VS. pertumbuhan jalan” sampai Jumlah kapal ilegal VS. Jumlah ekspor ikan. Begitu mudah untuk menarik korelasi antara 2 hal. Sebagai penerima informasi, tentu menarik untuk mengamati trend-trend korelasi tersebut, tapi kita harus selalu ingat bahwa adanya korelasi antara 2 hal, tidak berarti ada hubungan sebab-akibat antara keduanya.
Berikut beberapa contoh menarik atas 2 hal yang sama sekali tidak berhubungan tapi memiliki korelasi. Apa yang kita bisa simpulkan dari korelasi-korelasi di bawah ini? Nothing.
Sumber:
1. Correlation and Causation
2. Spurious Correlation
3. Broken Windows Theory