Tragedi Haji, Saudi dan Budaya Menyalahkan

Pada tahun 1912, Royal Mail Steamer (RMS) Titanic adalah kapal terbesar yang pernah dibuat manusia. Dengan panjang 274 meter, 25 tingkat dan berat 46.000 ton, kapal tersebut mengangkut 2.200 penumpang dan awak kapal. Interior kapal pun luar biasa megah dan mewah. Dari segi keamanan, menurut para desainer kapal tersebut, bahkan dalam kondisi kerusakan yang parah Titanic seharusnya bisa tetap mengapung selama 2-3 hari. Pada pelayaran perdananya menuju benua Amerika, kapal ini menabrak gunung es dan tenggelam hanya dalam waktu 3 jam. Hanya 705 penumpang yang selamat.

Dari hasil investigasi, ditemukan adanya kesalahan desain pada kapal. Di bagian lambung kapal, Titanic mempunyai 16 kompartemen kedap air. Masing-masing kompartemen bisa ditutup sehingga bila salah satu kompartemen ini kemasukan air/ bocor, air tidak akan masuk ke kompartemen lain dan kapal akan tetap terapung. Masalahnya, dinding sekat antar kompartemen kurang tinggi. Para desainer berasumsi bahwa kapal akan selalu dalam posisi flat/ datar.

Malam itu saat Titanic menabrak gunung es, lambung kapal robek sepanjang 6 kompartemen. Saat itu terjadi, awak kapal segera mengaktifkan pintu kedap air untuk mengisolasi kebocoran. Di luar perkiraan, lubang yang besar di perut kapal membuat 6 kompartemen terisi dengan sangat cepat.  Banyaknya air yang masuk membuat kapal hilang keseimbangan dan bagian depan kapal mulai menukik ke dalam air. Posisi kapal yang tidak datar ini membuat pintu kedap air kehilangan fungsi, karena air meluber bukan dari pintu melainkan dari dinding. Anda bisa bayangkan kotak cetakan es batu, yang disekat-sekat dan diisi air. Anda bisa mengisi tiap kotak satu per satu tanpa mengisi kotak yang lain. Tapi begitu cetakan es batu dimiringkan sedikit saja, tentu air akan meluber dan mengisi kotak-kotak yang lainnya. Ini yang terjadi dengan kompartemen kedap air Titanic.

Dalam waktu satu jam kapal sudah miring 45 derajat karena beratnya air di bagian depan, tidak lama kemudian kapal patah menjadi dua. Bagian depan kapal meluncur ke dasar samudera dan bagian belakang kapal menyusul 20 menit kemudian.

Aspek lain yang mempengaruhi cepatnya kapal Titanic tenggelam adalah baja yang digunakan sebagai bahan lambung kapal. Seharusnya secara material, baja ini tidak akan rusak sebelum mengalami deformasi (perubahan bentuk) hingga akhirnya patah. Tapi dari hasil penelitian bangkai Titanic, ditemukan bahwa patahan baja pada bagian lambung tidak mengalami proses deformasi. Baja tersebut mengalami “brittle fracture” atau keretakan getas. Keretakan ini membuat terjadinya kegagalan struktural yang begitu cepat. Keretakan ini bisa terjadi bila baja mengalami 3 kondisi: suhu yang rendah, benturan yang sangat keras dan kadar belerang yang tinggi. Pada malam itu, ketiga kondisi tersebut ada; suhu lautan malam itu sangat rendah (nyaris beku), benturan yang keras saat menabrak gunung es dan baja tersebut mengandung kadar belerang yang tinggi. Perfect environment untuk membuat kegagalan struktural.

Kedua hal tersebut tidak diperkirakan oleh para desainer kapal. Meskipun pembuatan Titanic telah melalui berbagai analisa risiko dan riset yang panjang; masih ada yang terlewatkan dan biaya yang harus dibayar sangat mahal. Ribuan nyawa meregang.

Bagi saya pribadi, jauh lebih menarik membaca analisa dan kajian mengapa suatu insiden terjadi. Orang-orang teknis di belakang setiap investigasi akan memutar otak bagaimana insiden ini tidak terjadi lagi. Acuh terhadap semua aksi tuding-menuding, jauh dari liputan media, jauh sebelum regulasi perancangan kapal diundangkan, para arsitek kapal dari White Star Line bekerja keras untuk melakukan modifikasi armada mereka untuk mencegah kejadian ini lagi. Double hulls, double bottom dan berbagai modifikasi lain dilakukan untuk memperbaiki kemampuan apung kapal meskipun dalam keadaan bocor. Baru pada tahun 1948 (36 tahun kemudian), diundangkan peraturan internasional yang menentukan acuan baku untuk kompartemen kapal (jumlah, dimensi dan sebagainya).

 

Tragedi Haji dan Budaya Menyalahkan (Blame Culture)

Di Arab Saudi terjadi insiden yang menewaskan 769 orang dan 934 luka-luka. Dua rombongan bertemu di sebuah persimpangan, tidak ada kendali lalu lintas di sana dan pada akhirnya kedua rombongan berdesakan dan fatal akibatnya. Insiden ini muncul tidak lama setelah robohnya crane yang menyebabkan 109 orang meninggal dan 238 luka-luka. Dalam satu bulan, telah meninggal 878 orang.

Sebagian dari kita mengambil sikap apologetis, memaklumi semua sebagai takdir Tuhan; meyakini para korban sebagai calon-calon penghuni surga. Tapi sebagian lainnya ribut mencari kambing hitam. Saya kira tidak ada manusia normal yang menginginkan adanya kerusakan yang berujung kematian seorang manusia lain. Tapi saat terjadi insiden, sepertinya refleks yang muncul adalah “Lagi-lagi Saudi gak becus”, “Lagi-lagi Syiah bikin onar” dan lain sebagainya. Mereka yang mencari kambing hitam menurut saya hanya melampiaskan nafsu yang membabibuta. Dari segi esensi, mereka tidak belajar apapun. Mereka tetap saja tidak tahu apa penyebab terjadinya kecelakaan tersebut, apalagi bagaimana mencegahnya di kemudian hari. Dari segi waktu, kemungkinan besar mereka buang-buang waktu atau setidaknya buang-buang bandwidth.

Kenapa banyak sekali yang senang mencari kambing hitam? Sadarkah kita bahwa budaya menyalahkan (blame culture) ini mungkin satu-satunya budaya yang tidak perlu diajarkan, tidak perlu keluar biaya untuk memeliharanya, dan ada di setiap peradaban? Semua terjadi secara alamiah. Sejak anak masih kecil, mereka sudah belajar otodidak untuk menyalahkan adiknya saat kamar berantakan. Si adik menyalahkan si Mbak; si Mbak menyalahkan anak tetangga dan seterusnya. Coba, berapa kali kita semasa anak pernah diluruskan oleh orangtua atau guru untuk tidak menyalahkan orang lain; untuk bertanggungjawab. Di panggung yang lebih besar, tokoh-tokoh politik, agama, sosial juga tidak sedikit yang gemar dalam salah-menyalahkan; media menggorengnya untuk menghasilkan oplah atau traffic yang lebih tinggi. Saya bisa mengerti para prajurit hoax bayaran yang memang dibayar untuk menebar hoax atau mendiskreditkan pihak tertentu. Pada dasarnya mereka sedang bekerja, menjalankan amanah sesuai imbalannya. Namun yang saya tidak mengerti adalah kaum sukarela penebar hoax yang ikut “click and share”-fest dan berpartisipasi dalam penyebaran berita simpangsiur. Apa manfaat yang didapat?

Tentu ada perbedaan yang mendasar antara “blaming” (menyalahkan) dan menghukum orang yang benar-benar bersalah. Blaming itu spontan, tidak perlu data, tidak perlu ada proses investigasi. Sedangkan menghukum orang yang bersalah adalah produk dari sebuah proses. Proses mendalami sebuah insiden, mencari kelemahan pada sistem yang ada dan menuntut orang yang lalai (bila ada) untuk bertanggungjawab. Peradaban kita tentu lebih memilih metode due diligence atau menggunakan proses yang sistematis bukan hanya untuk mencari siapa yang salah, tapi mencari di mana kekurangan sistem yang ada saat ini dan bagaimana memperbaikinya. Ini proses yang sangat lama. Dalam ilustrasi Titanic di awal tadi, untuk melakukan standardisasi kompartemen saja butuh waktu 36 tahun.

Di banyak perusahaan migas, saya tidak punya datanya tapi saya cukup yakin sudah ribuan dolar sudah dihabiskan oleh berbagai perusahaan untuk menyewa konsultan untuk meneliti dan mengimplementasikan sistem investigasi yang baik dan sistematis. Sistem yang berfokus pada kegagalan proses, bukan kegagalan individu/ kelompok. Sistem yang membawa semangat perbaikan jangka panjang, bukan “lakban” sementara. Sistem yang menjauhkan diri dari budaya menyalahkan. Sulit sekali merubah budaya ini, hingga sekarang pun sulit. Selain diperlukan mekanisme yang baik, diperlukan juga pemimpin-pemimpin yang kuat.

 

Responsibility VS Accountability

Benar, orang tidak bisa dihukum sebelum ia terbukti bersalah. Namun demikian dalam sebuah organisasi yang baik ada istilah accountability. Sayangnya, Bahasa Indonesia kurang bisa mengakomodasi perbedaan accountability dan responsibility. Keduanya memiliki definisi yang sama dalam Bahasa Indonesia, “tanggung jawab”.

Contoh mudahnya seperti ini. Saya adalah supervisor yang bertugas melakukan pengecekan kualitas (QA/QC) tabung pemadam kebakaran. Pengecekan ini adalah tugas saya, saya bertanggungjawab atas selesainya tugas ini. Pada suatu waktu, saya ingin sekali pulang cepat karena anak saya sedang sakit. Saya pasrahkan tugas ini kepada anak buah saya. Saya lemparkan “tanggung jawab” saya ini kepada anak buah saya. Sekarang dia yang bertanggung jawab. Tanpa sepengetahuan saya, si anak buah ini pun ingin pulang cepat. Akhirnya, tanpa melakukan pengecekan, dia tempelkan stiker “OK” pada tabung tersebut. Esoknya dia laporkan ke saya, bahwa tugas telah selesai.

Sebulan kemudian, terjadi kebakaran sebuah kantor, dan ditemukan bahwa tabung pemadam kebakaran tidak berfungsi. Setelah ditelisik, ditemukan bahwa itu adalah tabung yang dicek oleh anak buah saya. Siapa yang bertanggungjawab? Who is responsible, who is accountable?

Responsibility, bisa dialihkan; dalam hal ini saya sebagai supervisor tidak bisa melakukan pekerjaan saya dan harus melimpahkan. Tapi accountability, tidak bisa dialihkan. Saya yang harus menjawab atas kelalaian tersebut. Saya tidak memastikan bahwa semua tabung telah melewati pengecekan oleh saya. Saya adalah supervisor di divisi tersebut dan saya yang bertanggungjawab atas semua yang terjadi di divisi tersebut. Saat saya limpahkan responsibility saya, saya tetap harus memastikan bahwa tabung tersebut benar-benar telah di QA/QC dengan baik. Mungkin saya bisa meminta supervisor lain untuk mengecek, mungkin saya bisa menunda pengiriman tabung tersebut sampai keesokan harinya. Apakah benar saya sudah berusaha semaksimal mungkin untuk menjaga QA/QC? Inilah accountability, selain tanggungjawab ada juga beban moral di sana. Accountability, beban moral membuat para eksekutif dipenjara, membuat mereka mengundurkan diri dari jabatan bahkan ada yang sampai harakiri.

Kembali ke Saudi; ibadah haji tentu bukan milik warga Arab Saudi, ia milik seluruh umat Islam di seluruh dunia. Arab Saudi mendapatkan kehormatan untuk mengelolanya. Menerima tamu dari seluruh penjuru dunia bukan tugas sepele. Ada tanggungjawab besar di sana. Tanggungjawab bukan hanya dari segi kualitas ibadah, tapi juga keselamatan, kesehatan dan syukur bisa sampai ke kenyamanan.

Saat terjadi kecelakaan, siapa yang salah? Who is responsible? Kita belum tahu, investigasi masih berlangsung. Tapi untuk menjawab “Who is accountable?”,  mudah sekali – tentulah Pemerintah Saudi yang accountable sebagai penyelenggara. Ini tidak perlu diperdebatkan. Mau berdebat sampai berbuih pun, pemerintah Saudi sudah tahu ini. Kita bisa melihat dari gesture mereka. Misalnya pemerintah Saudi dengan berbagai kompensasi yang diberikan kepada korban kejatuhan crane; atau kunjungan raja Salman ke pasien-pasien. Ucapan permohonan maaf, janji untuk menginvestigasi insiden haji dan melakukan perbaikan sudah diucapkan oleh Raja Salman sendiri. Beliau mengakui ada perbaikan yang bisa dilakukan dari segi pengelolaan. Mengakui bahwa ada masalah, adalah langkah pertama untuk menuju perbaikan. Karena itu pemerintah Saudi menurut saya tidak lari dari tanggungjawab. Mungkin mereka telah berbuat yang terbaik, tapi tentu yang terbaik ini masih tetap bisa diperbaiki.

Kita juga sebaiknya bisa memahami reaksi dari negara-negara lain, yang mengirimkan jamaah haji. 236 warga Pakistan, 131 warga Iran tewas terinjak-injak, begitu juga 87 dari Moroko dan puluhan dari negara lain (Turki, Mesir, Indonesia, Belanda, Aljazair, dll). Sebagai pimpinan negara, pasti menyampaikan keprihatinan dan berreaksi atas kematian warganya. Iran memang menggunakan bahasa yang keras dalam mengkritik. Sementara Indonesia, India, Pakistan, Belanda dan Nigeria menggunakan bahasa yang lebih lunak. Bila Iran menyebut pemerintah Saudi “tidak becus” dalam mengelola haji; negara lain meminta “dilakukan perbaikan atas penyelenggaraan haji”. Beda kemasan, tapi esensinya sama; pemerintah Saudi harus melakukan perbaikan. Mau digosok teori konspirasi apapun, dihajar hoax kanan-kiri oleh pasukan bayaran ataupun sukarela, pada akhirnya semua menginginkan hal yang sama, ibadah haji yang khusyuk, aman dan kalau bisa nyaman.

1987: 402 korban meninggal karena aksi demonstrasi

1990: 1.426 korban meninggal di terowongan Mina

1994: 270 korban meninggal terinjak-injak saat lempar jumroh

1997: 340 korban meninggal karena kebakaran di Mina

2004: 259 korban meninggal terinjak-injak di Mina

2006: 364 korban meninggal saat lempar jumroh

2015: 769 korban meninggal di persimpangan saat akan melakukan lempar jumroh

 

Angka di atas bukan hanya statistik. Di balik angka tersebut ada nyawa, ada keluarga yang ditinggalkan. Dari data di atas, tentu ada ruang untuk perbaikan, tapi alangkah baiknya juga kita tidak mencela pemerintah Saudi; karena mengelola kegiatan ini selama 9 tahun terakhir, tanpa korban jiwa akibat kecelakaan; menurut saya sudah cukup baik. Setidaknya secara komparatif, lebih baik daripada pengelolaan tradisi mudik lebaran di nusantara yang pada 2015 ini saja memakan korban 403 jiwa. Tahun sebelumnya 2014, jatuh korban 456 jiwa.

Saudi juga sudah mengalami perjalanan panjang dalam upaya perbaikan sarana prasarana, mulai dari airport hingga mengelola 400 ton sampah tambahan dari para jamaah. Lengkapnya bisa dibaca di sini.

Lalu siapa yang ada di garda paling depan untuk perbaikan penyelenggaraan haji di Arab Saudi? Ya para insinyur, process designer, konsultan profesional, rumah sakit, tim medis, pengusaha hotel, transportasi dan sebagainya; yang selalu berupaya mengutamakan keselamatan dan keamanan. Mau seribut apapun para politikus dan komentator baik di dunia nyata maupun maya, para professional ini tidak punya waktu untuk itu. Tapi meskipun mereka diam dan terus bekerja, nantinya justru laporan mereka yang paling menarik. Laporan tentang dimana kelemahan sistem yang ada sekarang dan bagaimana mereka bisa memperbaikinya. Sama seperti hasil temuan insiden Titanic di atas. Konkret, berdasar dan lengkap dengan solusi yang ditawarkan.

 

  1. Causes and Effects of the Rapid Sinking of the Titanic
  2. Hajj stampede death toll rises
  3. Mecca Improvements

 

Comments 8

  1. Danasmoro September 28, 2015
    • Arief September 28, 2015
  2. Yogie September 29, 2015
    • Arief September 29, 2015
  3. Maslie September 29, 2015
    • Arief September 29, 2015
  4. Sangkar Ayam February 20, 2017
  5. NN December 13, 2019

Leave a Reply

CommentLuv badge