Tentang #LoveWins: Apa yang Ditawarkan Agama?

Cukup menarik mengamati berbagai reaksi atas keputusan Mahkamah Agung AS yang melegalkan pernikahan sesama jenis. Di AS saja hal ini menuai banyak kontroversi. Lebih luar biasanya lagi, di Indonesia yang jarak waktunya 12 jam dari AS hal ini juga lagi-lagi menimbulkan polarisasi. Kita patut bersyukur, polarisasi ini hanya sebatas di jagad maya. Masyarakat Indonesia kadang sadis di forum diskusi online, garang di bilik komentar – namun dalam kesehariannya, kesantunan masih terjaga. Kadang memang, “it’s easier to write than to say to somebody in person”.

Segera setelah keputusan tersebut diambil, dunia bersorak-sorai. Bendera pelangi berkibar, dari White House sampai foto profil facebook. Tagar #lovewins lantang berbunyi di mana-mana. Bagi mereka yang bertahun-tahun hidup sebagai homoseksual di AS, setia kepada pasangan dan ingin sekali tapi kesulitan mengadopsi anak, membina rumah tangga, maka ya… saya bisa memahami kebahagiaan mereka. Hidup sebagai minoritas dan dalam diskriminasi pasti tidak nyaman; dan ini ibarat akhir dari terowongan gelap yang panjang. Bergembiralah, saya tidak berhak untuk menghakimi apalagi menghentikan Anda berselebrasi.

Tapi setidaknya ada satu hal yang menggelitik bagi saya, yaitu tagar #lovewins.

Oke, mungkin ini adalah hal trivial yang sebenarnya tidak terlalu penting. Tapi kampanye tagar ini menurut saya mengandung makna yang tersirat. Yaitu kemenangan cinta di atas yang lain. Dengan demikian, ada pesan tersirat bahwa mereka yang tidak mendukung keputusan ini adalah mereka yang tidak mendukung cinta – mereka adalah manusia diskriminatif, dan lebih parah lagi mereka yang yang berabad-abad selama ini menjalankan tata negara, merumuskan konstitusi, memutar roda kehidupan sebuah negara adalah orang-orang yang “salah”.

Hal kedua yang menggelitik adalah pada proses pengambilan keputusan itu sendiri. Keputusan besar ini diambil oleh 9 hakim Mahkamah Agung, karena gugatan kasus tidak bisa selesai di tingkat pengadilan federal yang lalu naik banding. Sampai di sini saja, saya melihat sudah ada flaw dalam mekanisme pengambilan keputusan. Untuk isu sebesar pernikahan sesama jenis, yang akan berpengaruh begitu besar pada tatanan sosial, pendidikan dan budaya, di negara terbesar ketiga di dunia dengan populasi 321 juta jiwa. Really? Semua ini akan diserahkan di tangan 9 orang?

Dalam persidangan tertutup, 4 hakim (Samuel Alito, Antonin Scalia, Clarence Thomas, John Roberts) menyatakan menolak dan 5 hakim (Ruth Ginsburg, Stephen Breyer, Sonia Sotomayor, Elena Kagan, Anthony Kennedy) mendukung. Kesembilan hakim tersebut adalah orang-orang yang terhormat di bidangnya, mereka adalah lulusan sekolah hukum dari Universitas Harvard dan Universitas Yale yang merupakan universitas dengan reputasi terbaik di AS. Tidak ada keraguan atas kompetensi dan kapabilitas mereka untuk menyelesaikan kasus ini.  Untunglah, jadi saya yang awam hukum ini tidak perlu membuat analisa sendiri untuk memahami keputusan ini. Untuk memahami keputusan ini, mari kita berangkat dari penjelasan dari panel hakim. Hakim Kennedy yang mewakili mayoritas suara menegaskan bahwa [1]:

“No longer may this liberty be denied. No union is more profound than marriage, for it embodies the highest ideals of love, fidelity, devotion, sacrifice and family. In forming a marital union, two people become something greater than once they were. As some petitioners in these cases demonstrate, marriage embodies a love that may endure even past death. It would misunderstand these men and women to say they disrespect the idea of marriage. Their plea is that they do respect it, respect it so deeply that they seek to find its fulfillment for themselves. Their hope is not to be condemned to live in loneliness, excluded from one of civilization’s oldest institutions. They ask for equal dignity in the eyes of the law. The Constitution grants them that right.”

 

“Kebebasan ini tidak akan dikekang lagi. Tidak ada ikatan yang lebih mendasar dari pernikahan, karena ia merupakan perwujudan tertinggi dari cinta, kesetiaaan, pengabdian, pengorbanan dan keluarga. Dalam membentuk ikatan pernikahan, dua insan berubah menjadi sesuatu yang lebih kuat dari sebelumnya. Seperti telah didemonstrasikan pada kasus-kasus  ini, pernikahan adalah perwujudan cinta yang bisa bertahan bahkan setelah pasangannya meninggal. Oleh karena itu, untuk menilai bahwa mereka (pria dan wanita gay) tidak menghormati pernikahan adalah sebuah kesalahpahaman. Mereka menyatakan penghormatan mereka atas pernikahan, begitu tinggi penghormatan mereka sampai mereka meminta untuk dapat memenuhi keinginan mereka untuk menikah. Mereka berharap untuk tidak dikutuk hidup dalam kesendirian, terasing dari salah satu institusi tertua dalam peradaban manusia. Mereka meminta kesetaraan di mata hukum. Konstitusi memberikan hak tersebut kepada mereka”.

Mahkamah Agung juga melampirkan penjelasan ketidaksetujuan (dissenting opinion) dari hakim yang lain. Hakim Roberts misalnya menjelaskan bahwa saat ini, dari 50 negara bagian di AS, hanya 11 (dan Distrik Columbia) yang telah mengijinkan pernikahan sesama jenis. Di tempat-tempat tersebut, keputusan diambil secara demokratis dan azas keterwakilan terpenuhi. Namun sekarang, dengan adanya keputusan Mahkamah ini, sebanyak 38 negara bagian akan “dipaksa” untuk menerapkannya tanpa ada keterlibatan warga dalam pengambilan keputusan; yang mungkin mempunyai pendapat dan keinginan lain.

Argumen lain, dalam Amandemen Pertama ada jaminan bahwa orang-orang dan kelompok keagamaan diberikan perlindungan dalam mencari dan mengajarkan prinsip-prinsip keagamaan yang bersentuhan dengan kehidupan dan keyakinan mereka. Tentu saja keputusan Mahkamah Agung ini akan menabrak apa yang diyakini oleh kelompok-kelompok keagamaan tersebut. Seharusnya ruang untuk berdialog tetap terbuka hingga akhirnya dicapai kesepakatan yang dapat diterima bersama. Keempat hakim ini berpendapat bahwa seharusnya permasalahan/ pertanyaan ini bukan dijawab oleh Mahkamah, melainkan dikembalikan ke masyarakat melalui cara-cara demokratis.

Kalaupun mekanisme suara terbanyak/ mayoritas mau diberlakukan maka sebaiknya tidak terjadi di dalam ruang siding Mahkamah Agung. Satu lagi, peluang rekonsiliasi tetap harus terbuka antar kedua kelompok; tapi dengan diambilnya keputusan oleh Mahkamah maka meskipun perdebatan boleh berlanjut, secara hukum pernikahan sesama jenis tetap boleh berlangsung.

So again, tagar #lovewins ini memang dahsyat, penuh romantika tapi sesungguhnya jauh dari apa yang terjadi. Love did not “win”. The majority did.

 

Apa Relevansinya dengan Indonesia?

Mari kita bumikan isu ini ke tanah air kita tercinta. Sebenarnya ada banyak isu yang lebih penting dibanding LGBT ini. Indonesia adalah negara bertuhan; dan itu sudah terpatri dalam konstitusi kita. Ketuhanan Yang Maha Esa; artinya secara hukum setiap orang yang tinggal di Indonesia harus bertuhan. Perkara mereka mau diam-diam atheis, itu lain cerita. Hati orang tidak ada yang tahu, negara pun tidak bisa memaksa hati penduduknya.

Azas Ketuhanan ini tidak muncul mendadak, tidak dilahirkan oleh 1-2 orang. Kultur ketuhanan sudah lama sekali ada di Indonesia. Dia memberi nafas kepada berbagai kebiasaan, adat-istiadat yang ada di sekitar kita; termasuk pernikahan. Pernikahan yang diakui di Indonesia adalah yang juga diakui oleh agama. Ini kemarin sudah diputuskan juga oleh Mahkamah Konstitusi tempo hari, saat dikontestasi tentang pernikahan beda agama.

Bila sebuah pernikahan tidak diakui di mata agama, maka tidak akan pula diakui oleh negara. Sebegitu tingginya penghormatan negara ini atas agama. Untuk sebagian dari kita yang benar-benar ketakutan (phobia) terhadap LGBT, sejenak mari kendorkan urat syaraf; karena setidaknya untuk saat ini, tidak mungkin Indonesia menerima itu. Untuk merubah ini, bukan tidak mungkin – tapi saya yakin siapapun yang berusaha merubahnya akan menemukan begitu banyak kesulitan.

 

Apa Solusi yang Ditawarkan Agama?

Saat ini perdebatan begitu sengit membahas antara agama VS. keilmiahan fenomena “Gay”. Tidak akan ada titik temu. Lemparan-lemparan ayat suci dari berbagai agama tidak akan mempan bagi kelompok yang mendukung pernikahan sesama jenis. Begitu pula sebaliknya, kelompok pendukung LGBT juga melemparkan berbagai klausa dari Piagam Hak Azasi Manusia dan berbagai hasil riset mutakhir atas “gen gay”. Tidak akan mempan atas kelompok yang membawa argumen agama. Tidak akan ada titik temu, karena masing-masing berangkat dari tempat yang berbeda, dan lebih penting lagi, masing-masing berangkat dengan semangat “ketidaksetujuan”, akhirnya anihilatif. Yang satu berusaha meniadakan yang lain.

Dari berbagai diskusi yang saya baca, sampai sekarang sayangnya tidak saya temukan solusi konkret yang ditawarkan. Sebagai pemeluk agama, saya ingin sekali menemukan artikel atau tulisan yang “cespleng” memberikan solusi atas permasalahan ini. Sebagian besar hanya menghembuskan ketakutan atau peringatan bahwa kaum LGBT ini akan diazab dan akan hangus dari muka bumi.

Yang paling mendekati solusi adalah kadang ditulis bahwa kita sebagai masyarakat harus menerima bahwa kaum LGBT adalah orang yang “bermasalah”, orang yang sakit. Tapi saat dibaca lebih lanjut, solusinya adalah sebatas “mengarahkan ke jalan yang benar”. Tentu solusi ini tidak hanya berlaku pada LGBT; tapi rampok, maling, koruptor bahkan anak yang malas belajar pun harus “diarahkan ke jalan yang benar”.

Sebagian berargumen LGBT ini tidak normal, tidak alamiah, melawan kodrat. Manusia sebagai makhluk hidup harus bereproduksi, dan pernikahan sesama jenis menghambat itu. Benar, tapi argumen-argumen seperti ini mudah sekali dipatahkan karena di Belanda yang sudah melegalkan ini sejak 2001, ternyata pertumbuhan populasinya naik terus. Ini tentu sebatas korelasi, bukan hubungan kausalitas :) tapi… you get what I mean.

Sebagian menganggap bahwa ini penyakit, lalu apa obatnya? Sebagian menganggap ini penyimpangan sosial, tapi di Indonesia berapa banyak Pondok Pesantren (atau sekolah agama sejenis) yang mau menerima kaum LGBT? Berapa banyak LSM sosio-agamis yang menaruh perhatian pada “rehabilitasi” (kalau boleh disebut demikian) LGBT? Kalaupun ada, berapa tingkat kesuksesannya? Berapa orang yang telah berubah dari gay, menjadi normal kembali?

Apa yang bisa ditawarkan agama untuk menyelesaikan “masalah” ini. Apa benar diskriminasi adalah jalan satu-satunya?

Sumber:
1. Highlights From the Supreme Court Decision on Same-Sex Marriage
2. How Each Supreme Court Justice Came Down on Same-Sex Marriage
3. Population Growth in the Netherlands
4. Reflecting on 12 years of gay marriage in the Netherlands

Leave a Reply

CommentLuv badge