Penjajahan Migas di Indonesia

Saya tidak ingat kapan persisnya gambar ini muncul di jagad maya. Tapi berulang-ulang gambar ini di-share. Sampai bulan Juni ini saya masih melihat gambar ini di-share di akun Facebook Ratna Sarumpaet bertepatan dengan hari lahir Pancasila. Gambar ini menurut saya bagus dan kuat; jelas yang membuat gambar ini mempunyai keterampilan desain komunikasi visual yang baik. Gambar peta Indonesia, dengan titik-titik wilayah kerja (WK) minyak dan gas (migas), yang di setiap titik diberikan keterangan nama perusahaan yang mengerjakan WK migas tersebut. Namun tidak cukup hanya menulis nama perusahaannya, sang desainer juga membubuhkan bendera negara asal perusahaan tersebut. Stat Oil adalah perusahaan Norwegia, ditaruhlah bendera Norwegia di situ. Begitu juga dengan CNOOC dari RRC, eni dari Italia, Petronas dari Malaysia dan seterusnya. Dalam sekejap, tampaklah peta Indonesia tercinta kita ini, dikerubuti oleh berbagai bendera luar negeri. Negara ini sudah “dijajah” oleh negara-negara asing dan Indonesia hanyalah seekor sapi yang terus menerus diperah sampai kering. Kasihan Indonesiaku…

Gambar ini membangkitkan semangat. Kalaupun bukan semangat untuk memperbaiki Indonesia, setidaknya gambar ini membangkitkan semangat untuk mengelus dada lalu meng-klik “Share” :)

Mari kita telisik sebentar saja tentang Kontrak Kerja Sama pengelolaan migas Indonesia. Dalam mengelola migas ada regulator dan operator. Regulator melakukan fungsi pengaturan dan pengawasan, sementara operator melakukan kegiatan pengeboran dan produksi. Blok minyak di Indonesia ini ada banyak, seperti bisa kita lihat di peta di atas. Istilah yang digunakan pemerintah untuk blok minyak adalah Wilayah Kerja (WK). Setiap WK bisa dieksplorasi untuk mengetahui cadangan minyak atau gas yang terkandung di dalamnya. Setelah masa eksplorasi selesai, lanjut ke masa eksploitasi dimana minyak atau gas akan diproduksi sebanyak-banyaknya.

Melakukan eksplorasi migas adalah proses yang cukup rumit. Membutuhkan waktu dan biaya yang sangat besar. Risikonya lebih besar lagi. Kalau sampai sumur yang dibor kering, maka semua biaya tersebut akan menguap tanpa hasil. Sebagai ilustrasi, untuk menyewa kilang pengeboran lepas pantai, di laut yang dangkal butuh biaya sewa kilang + 250.000 USD per hari. Biaya tersebut belum termasuk jasa kontraktor yang digunakan untuk mengebor. Semakin susah medan pengeborannya, semakin mahal pula harganya. Untuk mengebor di laut dalam misalnya, perlu drill ship, yang harga sewa per harinya bisa sampai 1 juta USD [3]. Itu berarti setiap satu jam yang terbuang (entah karena kerusakan alat, cuaca buruk), sama saja dengan membuang Rp. 541 juta.  It is serious business.

Bisnis migas adalah bisnis negara. Tapi untuk negara sebesar Indonesia dengan WK yang begitu banyak, darimana biaya untuk melakukan itu? Untuk menyewa drillship selama 3 bulan saja butuh biaya Rp. 1 Trilyun. Itu baru untuk 3 bulan, belum biaya tahap-tahap selanjutnya. Bayangkan berapa ratus sekolah, jembatan dan puskesmas yang dapat dibangun dengan dana sebesar itu. Oleh karena itulah, pengeboran dan produksi minyak tidak menggunakan dana dari APBN.

Lalu dari mana uangnya? Dari kerjasama dengan kontraktor/ perusahaan, melalui skema Kontrak Kerja Sama (KKS) tadi.

Perusahaan migas (dari dalam dan luar negeri) diajak pemerintah bekerjasama melalui skema KKS. Saat WK dilelang, banyak perusahaan yang berminat untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi. Setelah lelang selesai, pemerintah (diwakili SKK Migas) dan Perusahaan Migas akan menandatangani kontrak yang didasarkan pada poin-poin penting sebagai berikut [2]:

  • Negara (Indonesia) adalah pemilik aset minyak dan gas yang terkandung pada WK. Siapapun, dari mana pun perusahaan migas yang beroperasi di Indonesia, pemilik aset migas adalah Indonesia.
  • Perusahaan/kontraktor yang dipilih adalah yang mempunyai keahlian, pengalaman dan dana yang cukup untuk melakukan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi
  • Modal dan risiko kegiatan ditanggung oleh kontraktor. Negara tidak mengeluarkan modal atau menanggung risiko apapun.
  • Dalam menjalankan operasinya, kontraktor harus tunduk pada kontrak dan berada di bawah pengawasan pemerintah (SKK Migas)
  • Apabila ditemukan cadangan migas dan bisa diproduksi, maka biaya seluruh biaya operasi yang telah dikeluarkan akan dikembalikan oleh pemerintah kepada kontraktor. Ini yang dikenal dengan cost recovery. 
  • Walaupun biaya dikembalikan, bukan berarti pemerintah menggelontorkan uang kas kepada kontraktor. Pengembalian dana operasi dilakukan dengan cara pembayaran setara kas (payment in-kind). Bentuknya beda, nilainya sama. Payment in-kind yang dilakukan pemerintah adalah dalam bentuk minyak atau gas yang dihasilkan dari proyek tersebut.
  • Dalam kontrak bagi hasil, negara mendapatkan porsi 85% dari keuntungan sementara kontraktor mendapatkan 15%
  • Setiap perusahaan yang telah menang tender, diberi jangka waktu tertentu untuk eksplorasi. Bila dia gagal melakukannya, akan kena denda dan diambil hak operasinya.

Dari poin-poin di atas, menurut saya cukup jelas bahwa “penjajahan” asing dalam hal blok migas ini keliru. Masuknya negara-negara asing ke Indonesia adalah pertama karena mereka diundang; lalu karena mereka mempunyai modal dan kompetensi yang kuat, harapannya pemerintah akan mempunyai peluang yang lebih besar untuk mengangkat migas dari dalam bumi Indonesia. Memang betul perusahaan-perusahaan ini pasti mengejar profit, tapi Indonesia pun mendapatkan manfaat yang besar dari kerjasama ini.

Untuk setiap kontraktor yang bekerja, pemerintah juga mewajibkan dijalankannya program sosial (corporate social responsibility – CSR), yang kegiatan-kegiatannya bermanfaat bagi penduduk sekitar. Belum lagi lapangan kerja baru yang dibuka dari bidang skema KKS ini. Semua memperbaiki daya beli masyarakat. Tentu kesemuanya harus didukung dengan pengawasan yang baik.

Kembali ke gambar tadi, memang betul perusahaan-perusahaan asing ramai masuk ke Indonesia. Tapi mereka tidak menjajah, karena aturan main ditetapkan oleh pemerintah, tentu berbeda dengan masa penjajahan Belanda atau Jepang dulu.Satu hal lagi yang mungkin “lupa” dibubuhkan pada peta tersebut adalah, kemana blok-blok Pertamina? Sebagai BUMN, Pertamina diberikan hak khusus untuk mengeksplorasi blok yang masih terbuka (belum akan dilelangkan). Namun bila Pertamina ingin mengelola WK yang sudah masuk program lelang, ya mereka harus berkompetisi dengan perusahaan asing untuk bisa mendapatkan ijin mengelola blok. Sampai akhir 2014 sudah ada sebanyak 316 Wilayah Kerja, terdiri dari 81 WK Eksploitasi dan 235 WK Eksplorasi [1].

Sumber (dan bacaan lanjutan):
1. Laporan Tahunan SKK Migas 2014
2. Mengenal Industri Hulu Migas Indonesia (Humas SKK Migas)
3. Oil Drilling – an Expensive Business
4. Mengolah minyak menjadi bensin
5. Bajuri Berkebun Mangga – Alegori Kontrak Karya Minyak

Comment 1

  1. galih August 21, 2015

Leave a Reply

CommentLuv badge