Kebakaran Bandara: Miskinnya Komunikasi PT. Angkasa Pura II

Hari Minggu (5 Juli 2015) kemarin terjadi kebakaran di Bandara Internasional Soekarno-Hatta Terminal 2. Sumber api berasal dari JW Lounge yang terus merembet dan membesar. Kejadian ini terjadi pada pukul 06:10 WIB. Kebakaran ini mengakibatkan ditutupnya pintu masuk hingga berjam-jam dan lebih dari 50 penerbangan ditunda. Ribuan penumpang menumpuk di depan pintu masuk check-in dan juga meluber ke luar.

Saya tiba di bandara pada pukul 06:45 WIB. Saya ingin berbagi apa yang saya amati pada pagi hari itu dan ada beberapa masukan yang ingin saya berikan kepada PT. AngkasaPura II sebagai pengelola Bandara Soekarno-Hatta. Mari kita mulai dengan hal positif yang terjadi pada pagi itu.

The Positives
Tim pemadam kebakaran cukup cekatan memadamkan api. Dari apa yang disampaikan oleh petugas Aviation Security (Avsec), pada pukul 07:00 WIB api sudah padam dan pengendalian tahap selanjutnya adalah sterilisasi bagian dalam bandara dari asap. Asap yang keluar sangat hitam dan pekat juga berbau menyengat. Melihat besarnya bandara dan juga banyaknya instalasi listrik pada bangunan, kita patut mengapresiasi kesigapan para pemadam kebakaran.

Kedatangan penumpang yang biasanya di lantai dua, dialihkan ke lantai satu. Kendaraan tidak dapat naik ke ramp dan menurunkan penumpang di sana. Dengan demikian, jalur untuk truk pemadam, ambulance dan yang lain steril; juga penumpukan penumpang dapat sedikit terkurangi karena mereka ada di lantai bawah.

Kekurangan Terbesar: Ketiadaan Informasi
Sejak tiba di bandara pada pukul 06:45 hingga pukul 10:00 WIB (saat pintu dibuka), sama sekali tidak ada pemberitahuan ataupun informasi. Papan informasi keberangkatan pun, masih menunjukkan jam keberangkatan tanpa ada keterangan “Delayed” atau “Cancelled”. Penumpang bingung apa harus pulang atau terus menunggu. Kalaupun menunggu, sampai kapan? Tidak ada yang bisa ditanya. Karena tidak ada papan pengumuman, penumpang menuju ke pos polisi, ke pos informasi. Tapi keduanya tidak ada yang bisa memberikan informasi.

Sebagian penumpang mulai gerah dan panik, entah karena mereka ada janji di tempat tujuan atau mereka akan kehilangan connecting flight. Penumpang yang panik ini banyak yang maju ke depan, menggedor kaca, menghardik petugas Avsec karena tidak ada informasi. Lelah menunggu, sebagian penumpang duduk di lantai; ada sebagian penumpang yang mulai emosi karena dilangkah-langkahi. Terjadilah adu mulut dan berbagai aksi yang sesungguhnya tidak perlu.

Ada seorang nenek yang jatuh karena lemas. Beliau tidak bisa duduk karena penuh dan tidak bisa jalan karena membawa tas bawaan. Saat jatuh, lagi-lagi kepanikan terjadi. Tidak ada petugas kesehatan, pos kesehatan. Mau membawa ke manapun susah saking penuhnya orang. Sebagian penumpang lain menggedor-gedor pintu kaca dan akhirnya ada petugas yang membukakan dan akhirnya mau memperbolehkan nenek tadi untuk masuk.

Pukul 09:30, muncul seorang petugas dari Garuda Indonesia, yang meneriakkan “Garuda Indonesia counter 33, 34, 35”. “Maskapai lain, tidak tahu. Yang jelas Garuda 33, 34, 35!”. Sebagian penumpang Garuda tampak lega atas adanya informasi ini. Penumpang maskapai lain, tambah bingung. Penumpang yang di belakang, boro-boro mau bingung, dengar saja tidak.

Masukan untuk Angkasa Pura II
Saya bukan pakar disaster relief, ataupun emergency response. Tapi dalam perjalanan karir saya di pengeboran minyak, sudah ratusan kali saya mengikuti drill, mulai dari fire drill sampai rig abandonment, baik di darat maupun lepas pantai. Jadi meskipun saya tidak tau teknis pemadaman api oleh tim, ataupun sterilisasi asap; saya sedikit tahu tentang bagaimana saya bersama ratusan pegawai lain dikelola. Dan porsi terbesar dari pengeolaan itu adalah tersedianya informasi. Kalau orang diberi informasi, diberi instruksi yang jelas dia tidak akan panik.

  • Tegaskan Di Mana Muster Point
    Pertanyaan yang paling mendasar adalah: Saat terjadi keadaan darurat, di mana orang harus berkumpul? Where do we muster? Di kilang atau di workshop, setiap terjadi keadaan darurat, setiap orang tahu harus pergi kemana. Di Bandara Soekarno Hatta, tidak jelas. Bahkan sudah ada keadaan darurat kebakaran pun orang masih berbondong-bondong mendekat ke sumber api. Entah karena ingin tahu, atau karena tidak tahu (mencari gate-nya). Sudah cukup jelas bahwa penumpang diminta menunggu, tapi menunggu di mana?
  • Bagikan Masker
    Saat pegawai Avsec semua mengenakan masker di dekat pintu check-in; penumpang yang terlantar (wanita, orang tua, anak-anak) dibiarkan menghirup asap tanpa masker. Tidak bisakah penumpang dihimbau untuk menunggu di tempat lain? Atau mungkin lakukan pembagian/ penjualan masker. Saya yakin banyak yang dengan senang hati membeli.
  • Pemberian informasi berkala
    Selama 3-4 jam penumpang dibiarkan tanpa informasi. Di kilang, setiap ada keadaan darurat hampir setiap 15 menit ada pemberitahuan. Diinformasikan antara lain, dimana sumber api, apa yang sedang dilakukan oleh tim pemadam dan himbauan untuk tetap tenang, menunggu berita selanjutnya. Sungguh tidak susah untuk melakukan hal ini. Kalau pun tidak ada update, maka station master tinggal memberitahukan bahwa masih belum ada kabar baru lagi, harap bersabar. Ini bukan lagi sekedar “customer service” tapi memanusiakan manusia. Station master juga bisa memberitahukan di mana fasilitas umum yang penting seperti ruang kesehatan, toilet dan sebagainya. Saya paham, mungkin demi keselamatan, berbagai jaringan listrik pada waktu itu dimatikan termasuk juga untuk pengeras suara. Tapi walaupun demikian, begitu pengeras suara dinyalakan yang pertama keluar adalah pengumuman “Harap tidak merokok”, bukan maaf atas ketidaknyamanan, apalagi informasi penerbangan. “Harap tidak merokok” ini informasi yang sangat tidak berguna, tidak tepat situasi. Tidak merokok memang penting, tapi bukan itu yang dinanti oleh penumpang yang sudah haus informasi. Meskipun tidak ada pengeras, bisa saja ditugaskan tim informasi cukup 10 orang saja untuk meng-cover seluruh terminal 2; dilengkapi dengan megaphone. Tugas mereka selain untuk memberikan informasi, tapi juga memberi kesan bahwa Angkasa Pura hadir di situ. Peduli pada penumpang (dan pelanggannya). Bila masih dirasa berat untuk mendelegasikan 10 orang, tempellah 1 lembar pengumuman di pintu kaca itu, supaya orang bisa membaca.
  • Libatkan Maskapai untuk Penyampaian Informasi
    Maskapai penerbangan juga sebenarnya bisa berbuat lebih, tentu di bawah koordinasi Angkasa Pura. Saya lihat hanya 2 maskapai yang memberikan update pada pagi itu. Yang pertama adalah Garuda Indonesia dan yang kedua Tiger Airways. Untuk kasus Tiger, mereka langsung memberikan update “Cancelled” pada papan pengumuman. Setidaknya penumpang tahu bahwa penerbangannya dibatalkan. Something, is better than nothing. Kalau memang penumpang harus mencari tahu sendiri, tolong sampaikan ke mana mereka harus pergi, di bagian mana kantor customer services. Saya sendiri, yang hari itu terbang dengan Malaysia Airlines, tidak tahu dimana kantor Customer Services mereka. Banyak yang ingin menelpon hotline tidak tahu nomornya. Sebagian bisa menemukan via internet, sebagian yang lain pasrah saja.
  • Perhatikan Warga Negara Asing
    Yang terakhir dan juga tidak kalah penting adalah tolong perhatikan penumpang asing yang tidak bisa berbahasa Indonesia. Sebagian besar dari mereka frustrasi dalam diamnya. Di barisan depan dekat pintu kaca, petugas Avsec menjelaskan kepada penumpang dalam bahasa Indonesia bahwa asap sudah mulai menipis di dalam dan mereka sedang menunggu counter imigrasi untuk buka. Saya melihat seorang “bule” dengan sabar mengantri untuk gantian bertanya ke petugas Avsec. Samar-samar dia memicingkan mata sembari berusaha mengerti apa yang sedang dijelaskan. Begitu sampai di depan petugas, belum sampai dia bertanya, baru sekedar “Excuse me, sir!”, sudah langsung dijawab “CLOSED! CLOSED! ALL CLOSED!!”. Saya hampiri si bule dan saya jelaskan apa yang barusan saya dengar. Saya mintakan maaf karena mungkin si petugas tidak bisa berbahasa Inggris. Dia begitu mengapresiasi, tapi dia juga bilang “This is just terrible, you don’t want to be an expat and run to an emergency here. It’s a nightmare. There’s just no information”.

Sebagai perusahaan pengelola bandara dengan visi dan misi yang hebat, saya harap Angkasa Pura bisa memperbaiki aspek komunikasi dalam keadaan darurat. Memang tidak mudah, tapi juga tidak bisa kita selalu beralasan dan bersembunyi dibalik kata “musibah” atau “force majeure”; apalagi ini sekedar penyampaian informasi. Surely, you can do better. 

Leave a Reply

CommentLuv badge