Cara Ekonom Memaknai “Toleransi”

Dulu saya heran dengan pemikiran Presiden SBY saat beliau memutuskan untuk membagi-bagi Bantuan Langsung Tunai (BLT) kepada masyarakat miskin. Menurut saya ini adalah pembodohan dan jalan pintas yang diambil pemerintahan yang malas. Saya lebih percaya pada pemberdayaan, pendampingan dan berbagai inisiatif lain yang berpangkal pada “lebih baik mengajari memancing daripada memberi ikan”. Jangan salah, sampai sekarang pun saya masih menganggap ini metode yang paling baik, tapi kita harus juga melihat opportunity cost yang ada dibalik pendidikan tersebut. Mari kita lihat contoh program pengadaan sapi di Rwanda, dimana masing-masing keluarga diajarkan untuk merawat sapi yang hamil melalui inseminasi. Harapannya masing-masing keluarga ini akan punya sapi yang bisa dikembangbiakkan dan bisa mendukung mata pencaharian. Sip kan? Lalu berapa biaya yang dihabiskan untuk akhirnya mendonasikan satu ekor sapi?

Tidak kurang dari US$ 3.000, termasuk untuk biaya trainer, pesawat pulang pergi, alat peraga, dan lain sebagainya. Biaya tersebut kurang lebih 10 kali lipat harga sapi, dan bahkan bisa diberikan kepada 10 keluarga. Tidak jadi sip kan? 

Memang benar, memberikan ilmu itu lebih baik. Tapi apakah tidak lebih baik biaya ini kita berikan untuk 10 keluarga dan bisa kita berikan setiap bulan? Dengan ada uang, maka keluarga ini bisa mengambil keputusan-keputusan yang menurutnya baik, sesuai kondisi masing-masing (kondisi anak, kesehatan, rumah, dlsb). Itulah kenapa program kredit mikro di negara-negara miskin banyak yang sukses, termasuk juga kesuksesan Muhammad Yunus dan Grameen Bank di Bangladesh. Memang saat kita memberi uang kepada orang lain, kita tidak tahu akan dibuat apa uang tersebut. Namun kadang uanglah yang diperlukan masyarakat miskin untuk mulai bangkit dari keterpurukannya. Perlu keberanian untuk membiarkan dan mempercayakan uang kepada orang lain, dengan harapan keputusan yang mereka ambil adalah keputusan terbaik untuk mereka.


Toleransi a la Ekonom

Ha? Lalu apa hubungan semua ini dengan toleransi?
Ada. Yaitu kemampuan kita untuk membiarkan (bahkan mempercayai) orang lain untuk mengambil keputusan sesuai kondisi mereka masing-masing. Disadari atau tidak, kita; hidup kita ini penuh dengan kesombongan dan rasa superior terhadap orang lain.

Sering kita lihat posting pengguna sosial media yang mengeluh kenapa orangtua lain “tega” memberikan susu formula kepada anaknya, padahal artikel tentang bahaya susu sapi bertebaran di mana-mana. Ada juga sebagian dari kita yang mengeluh kenapa orang-orang begitu bodoh menghamburkan uang hanya untuk beli batu akik. “It’s not even a precious stone!”, katanya. Apapun pilihan orang lain, terlepas dari alasan mereka masing-masing; cobaan terbesar bagi kita adalah untuk mentoleransi dan tidak menghakimi.

Seorang ekonom cenderung pragmatis dan biasanya menanggalkan “jubah hakim”-nya sebelum menganalisa sebuah situasi. Saat seseorang mengambil keputusan, maka yang dilihat adalah apa yang berusaha dia capai. Ada istilah “attainment” atau pencapaian pribadi, yang menjadi aspek yang paling penting dipahami oleh seorang ekonom. Apa yang ingin dia capai dengan keputusan tersebut? Perkara benar atau tidaknya keputusan tersebut, tidak relevan. Mengapa tidak relevan? Karena bagi orang yang tidak suka batu akik, jual beli batu akik adalah bodoh dan menghamburkan uang. Karena bagi orang yang suka Justin Bieber, nonton konser Bon Jovi itu ibarat berkunjung ke museum purbakala. Tidak bisa kita menggunakan standard attainment kita sendiri untuk menilai keputusan yang diambil orang lain. Yang bisa kita nilai/ hakimi ya diri kita sendiri. Saat saya ternyata tertipu karena batu akik yang saya beli ternyata palsu dan luntur kalau kena air hujan, maka saat itu pula saya boleh menilai (diri sendiri) bahwa membeli akik palsu tersebut seharga Rp.500.000 adalah tindakan yang bodoh. (bercanda, setahu saya tidak ada akik yang luntur kena air hujan)

Inilah menurut saya makna toleransi a ala ekonom. Setiap orang yang diberikan sumberdaya (waktu, uang, mobil, ilmu), akan menggunakannya sesuai dengan situasi dan kondisinya. Seorang ekonom akan mencoba untuk memahami keputusannya, tanpa perlu menghakimi orangnya.


Hidup dengan Pluralitas Indonesia. Apakah Toleransi Cukup?

Let’s face it. Di Indonesia ini banyak sekali jenis manusia, semua berbeda mulai dari jenis kelamin sampai latar belakang keluarga dan pendidikan. Keputusan yang diambil masing-masing orang pasti berbeda. Sudah terlalu jamak Indonesia ini, sehingga upaya untuk membuatnya homogen akan kandas kecuali terjadi revolusi skala besar. Mari kita saling toleran, syukur-syukur kita bisa mencapai level di atas toleran, yaitu menghormati (respect). Seorang suami kadang menganggap dia sudah toleran saat memperbolehkan istri membeli baju baru. Tapi yang diinginkan istri tentu tidak sebatas “ditolerir”, tapi juga ingin dipuji atas baju barunya, ingin diajak wefie dan seterusnya.

Layaknya hidup berdampingan dengan pasangan atau keluarga kita masing-masing, demikian juga dengan hidup berdampingan dengan sesama warga Indonesia dalam keragaman agama dan budaya. Sampai mana pencapaian yang Anda inginkan?

Leave a Reply

CommentLuv badge