Bertengkar dan Meminta Maaf

Maaf” ternyata sungguh kata yang sulit untuk diucapkan. Lihatlah kasus pemukulan wasit Indonesia oleh oknum polisi Malaysia. Saya sendiri tidak tahu kenapa kok bisa Pak Donald itu dipukuli, tapi yang jelas rakyat DPR Indonesia menuntut Malaysia untuk meminta maaf atas pemukulan tersebut. Menlu Malaysia lalu memberikan pernyataan “deeply regret” (sangat menyesal), yang ditolak “setengah-mentah” oleh rakyat DPR Indonesia. Saya heran, kenapa bukan polisi nya ya yang dituntut meminta maaf ke Pak Donald?

Jangankan dalam hubungan antar negara; dalam keluarga pun terkadang sulit sekali untuk meminta maaf. Bapak Ibu saya dulu selalu bilang, “yang besar mengalah, dan meminta maaf duluan”; kalo orang Jawa beda lagi, “sing waras ngalah” (yang berpikiran sehat, mengalah). Mengalah kata Bapak, bukan berarti kalah. Tapi di setiap pertengkaran, kalau kata Ibu, harus disudahi dengan permintaan maaf; dan pemberian maaf oleh satu sama lain. Ini di keluarga saya.

Keluarga Arida sedikit berbeda. Setiap pertengkaran, tidak selalu diakhiri dengan permintaan maaf. Yang ada hanyalah “waktu jeda” atau time-out antara kedua pihak yang bertikai. Waktu jeda adalah penghentian semua komunikasi. Lama waktu jeda tidak ada ketentuannya. Kadang bisa satu jam, bisa juga sampai 2-3 hari. Tapi saat salah satu berusaha membuka jalur komunikasi, yang lain akan welcome. Dan semua akan kembali seperti semula; jalan bareng, makan bareng, dan main bareng. Tidak ada dendam, semua dimaafkan dan dilupakan. Ini juga sebenarnya cukup efektif karena dengan diam, tidak memperpanjang percekcokan; dan pada akhirnya juga semua baik-baik saja.

Di awal pernikahan, agak sulit bagi saya untuk mengikuti pola“damage control” yang seperti ini; dan saya yakin bagi Arida pun sulit untuk menyesuaikan. Tapi lama-kelamaan satu sama lain berusaha beradaptasi. Ada kalanya kita pake metode waktu jeda; karena toh seberapa lama sih kuat diem-dieman dalam satu kasur atap. Yang perlu dipahami saat bertengkar adalah sudah tidak penting lagi siapa yang salah. Kalau sudah bertengkar (indikatornya intonasi meninggi, setengah membentak, kadang saling mendiamkan, dll), dua-duanya sudah saling menyakiti. Dan kedua pasangan entah bagaimana, menjadi sangat kreatif untuk menemukan “metode” menyakiti yang lebih canggih.

Kalau salah satu masih bisa rasional, maka minta maaflah, dan beri waktu pihak satunya untuk memaafkan (inilah kenapa terkadang harus ada waktu jeda). Memaafkan juga ternyata lumayan susah. Toh saling diam lebih baik daripada saling marah-memarahi. Saya belajar bahwa ternyata emosi itu benar-benar bisa reda. Sampai titik tertentu saya berpikir, bahwa wanita ini adalah istri saya; dan ibu dari anak-anak saya. Membayangkan sosok “ibu” bisa meredakan amarah. Apalagi kalau sudah mengingat masa-masa melahirkan. Lebih mudah rasanya untuk rujuk kembali.

Oya, ada juga 3 prinsip yang kami pegang saat bertengkar:

  1. Tidak boleh di dengar anak-anak (walaupun anak masih bayi)
  2. Tidak boleh mengadu ke orangtua
  3. Tidak boleh meninggalkan rumah

Bertengkar adalah sesuatu yang wajar. Dan semua ini masalah kebiasaan. Saya punya beberapa teman yang kalo bertengkar dengan istri/suaminya sampai saling bersumpah serapah, banting pintu, dll; tapi sampai sekarang pernikahannya masih awet dan mesra. Sebenarnya marah dan bertengkar itu melelahkan; sehingga setelah rujuk, justru malah rasa kangen yang muncul.

Mudah-mudahan keluarga kita semua senantiasa rukun; tidak gengsi untuk meminta maaf dan juga lapang dada untuk selalu memaafkan. Juga kepada Pak Donald, semoga cepat sembuh. Saya tahu polisi Malaysia itu mungkin bersalah dan wajib meminta maaf, tapi Bapak bisa menjadi orang yang lebih besar dengan memaafkan mereka.

Comment 1

  1. nonot August 30, 2007

Leave a Reply

CommentLuv badge